ERANASIONAL.COM – Covid19 dan mental illness adalah dua hal yang harus dihadapi oleh seorang pengidap mental illness. Tanpa adanya covid-19 mental illness merupakan hal yang sudah cukup berat untuk penderita mental illness.

Lantas, bagaimana perkembangan mental illness yang diderita seseorang dengan adanya pandemi ini? apakah membaik? atau sama saja dengan ada atau tidak adanya pandemi ini? Atau bahkan menjadi lebih sulit untuk dikendalikan?

Achnesya novia agustine yang biasa di panggil ines salah satu pengidap Schizoaffective Bipolar Type yang sudah dideritanya selama 4 tahun akan tetapi ines tidak merasakan pengaruh yang signifikan pada mental illness yang diderita dengan adanya pandemi ini.

Ines mengatakan selama dia mengidap Schizoaffective Bipolar tidak ada perbedaan dengan adanya pandemi corona atau tidak karena dia tidak suka keluar rumah.

“Gak ada perubahan sih, gini gini aja aku sehari hari, Karna aku pun emang gak suka keluar rumah, kayak nongkrong sama temen dll tuh gak suka. Gak ada perbedaan sih saat pandemi atau sebelum pandemi” Kata Ines

Ia juga menambahkan tengah mempelajari bagaimana cara mengatasi schizoaffective bipolar type yang dideritanya demi kenyamanan ines selagi stay at home seperti membatasi ruang lingkup,baca buku, dll. Dimana bisa menjadi contoh untuk penderita mental illness lain nya.

“Ya itu, aku bener bener batasin ruang lingkup aku sebisa mungkin.” Tambah Ines.

Ia mengatakan terus mempelajari ilness yang membuatnya merasa cemas dan selalu banyak membaca dari buku tentang mental maupun artikel di dalam internet.

Achnesya novia agustine
Achnesya novia agustine

“Aku pelajari illnes aku, apa yang nge trigger sebisa mungkin untuk menjauhinya, dan aku banyak baca tentang mental baik dari buku maupun internet, untuk socmed pun, aku juga membuat gimana caranya aku bermain socmed itu aman untuk mentalku”, Kata Ines

Tak hanya itu dukungan dari keluarga juga sama pentingnya, ines pun dapat pengertian dari keluarga dimana keluarga bisa mengerti dan menuruti jika ines sedang tidak ingin diganggu dan butuh space untuk menyendiri bahkan ines merasa diperlakukan layaknya anak bayi.

“Walapun aku tidur sama mama, mama jarang ganggu aku kalau aku lagi kelihatan tidak enak, mama sebisa mungkin gak ganggu aku, tapi mama tau kalau aku dalam kondisi yang down atau mood tidak stabil mama langsung peluk dan cium sesekali seperti anak bayi”. tambah ines.

Namun bagaimana dengan remaja tidak biasa untuk stay at home, seperti Talitha Pavita adalah salah satu pengidap Borderline personality disorder (BPD) yang sudah 11 tahun ada pada dirinya. Dimana talitha merasakan pengaruh yang signifikan terhadap BPD yang dideritanya dengan adanya pandemi ini.

Talitha Pavita
Talitha Pavita

“Ngaruh banget sejujurnya. karena cara pikir aku dengan atau tanpa campur tangan bpd kan masih setengah mateng gitu. lebih ngaruhnya kearah pandemi ini jadi titik balik aku dimana aku harus gerak ngelawan pola pikir dan sisi lain dari diri aku. plus di tahun ini juli kemarin mama ku pensiun dan mendadak mau pindah ke amrik sm suaminya, mau gamau aku harus cari kerja apapun itu even diluar passion aku. karna mamaku emang ninggalin atap buat anak2nya, tapi dia pengen pensiun dia ini aku yg ambil alih fulfill semua kebutuhan rumah (listrik, pangan, bensin, air, dll)”. ucap Talitha.

Bahkan Talitha kesulitan mencari kerja di tengah pandemi ini. “tapi ya gitu, ada keterbatasan karna aku tatoan dan passion aku selalu di bidang art.
dan belum ada pengalaman kerja. apply ditengah pandemi gaada yg nerima”. Lanjut Thalita

Sama hal nya seperti yang dikatakan oleh Nurul Annisa psikolog yang sudah mempunyai pengalaman mengatasi pasien depresi yang dikarenakan oleh covid-19 ini. Nurul memberikan saran pada remaja yang sering mengalami depresi saat stay at home,yang pertama kita harus menyadari bahwa bukan nya kita yang merasakan pandemi ini, kedua bertemu virtual dengan seseorang yang bisa menemani anda(chating,videocall, mengerjakan tugas bersama),lalu cari lah hobby yang bisa mengisi waktu anda,mintalah bantuan kepada keluarga anda, jika masih tidak terbantu pergilah ke psikolog atau psikiater.

Penulis : Inggrid Safia Mano ( Mahasiswi LSPR Business and Communication Institute )
Editor : Riko Sendra S.Kom