irektur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga

JAKARTA – Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga, menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Keadilan Restoratif dan alternatif pemidanaan. Menurutnya, dua hal ini perlu dijadikan komitmen oleh seluruh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pelaksanaan adjudikasi dalam sistem peradilan pidana.

“Kami Pemasyarakatan, tentunya sangat mendukung terhadap pelaksanaan Restorative Justice, tidak hanya bagi anak namun juga bagi pelaku dewasa,” tegas Reynhard dalam Rapat Koordinasi dan Sosialisasi tentang Alternatif Pemidanaan dan Keadilan Restoratif bagi Pelaku Dewasa, di Jakarta, Selasa (22/6).

Pada kesempatan ini, Dirjenpas membeberkan kondisi hunian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang mengalami kelebihan penghuni atau overcrowded.

Menurut Reynhard, 29 dari 33 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengalami kondisi ini, bahkan terdapat satu Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang kelebihan penghuni hingga 900%.

“Untuk permasalahan overcrowded ini, andaikan sebuah negara, penyelesaianya tentu harus melibatkan semua pihak, baik dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan juga masyarakat,” tegasnya.

Lebih lanjut, berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per bulan Mei 2021, jumlah penghuni Lapas/Rutan saat ini adalah 265.721 orang, sementara kapasitas hunian hanya untuk 129.740 orang.

Artinya, kata dia, terjadi kelebihan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebanyak 130.702 atau 95% dari kapasitas yang tersedia. Hal ini menyebabkan tingginya kebutuhan anggaran untuk belanja bahan makanan WBP dan pembangunan Lapas-lapas baru.

“Anggaran makan untuk WBP itu Rp 2 Triliun, belum anggaran untuk penyidikan, dan biaya untuk di pengadilan, berapa banyak biaya yang dihabiskan negara untuk proses hukum ini,” ungkap Reynhard.

Pemasyarakatan sebagai bagian akhir dari sistem peradilan pidana sangat bergantung pada proses pelaksanaan pidana yang dilaksanakan oleh APH, mulai dari pra-adjudikasi, adjudikasi, sampai dengan pasca adjudikasi.

“Kalau permasalahan ini terus terjadi, ditangkap, dipenjara, ditangkap, dipenjara lagi, kami Pemasyarakatan tentunya akan sulit melaksanakan pembinaan,” sambung Reynhard.

Ditjenpas akhirnya semakin yakin untuk melakukan langkah-langkah konkrit dalam penerapan Keadilan Restoratif, dengan maksud untuk menyamakan persepsi dan pemahaman antara APH dalam melaksanakan alternatif pemidanaan dan keadilan restoratif bagi pelaku dewasa.

Lebih dari itu, hal ini juga guna memastikan penerapan Keadilan Restoratif dan alternatif pemidanaan yang telah diatur dalam payung hukum masing-masing lembaga seperti pengadilan, kejaksaan dan kepolisian dapat benar-benar dilaksanakan.

Senada, Direktur Pembinaan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Liberti Sitinjak sangat berharap dalam kegiatan ini dapat terjalin sinergi antar APH dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Pihaknya mengapresiasi seluruh peserta yang hadir, baik secara langsung maupun virtual.

“Melalui kegiatan ini saya berharap para peserta kegiatan dapat berkoordinasi satu sama lain terkait dengan implementasi Restorative Justice bagi pelaku anak dan dewasa, baik dalam lingkup internal maupun eksternal,” pungkasnya.

Turut hadir Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, Regional Director Dutch Probation Service, Direktur Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, perwakilan Center for International Legal Cooperation (CILC), Pimpinan Tinggi Pratama Ditjenpas, para Kepala Balai Pemasyarakatan wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, perwakilan Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, dan Polrestabes wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, serta sejumlah jajaran Ditjenpas.

Reporter: Agung Nugroho