Jakarta – Reforma Agraria yang dilaksanakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dibagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu dalam hal legalisasi aset dan redistribusi tanah. Pada komponen redistribusi tanah terdiri dari bekas HGU (Hak Guna Usaha), tanah telantar, serta pelepasan kawasan hutan. Dalam hal pelepasan kawasan hutan masih sedikit sekali pencapaiannya karena dibutuhkan koordinasi antar-Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil dalam sambutannya yang disampaikan secara daring saat Rapat Koordinasi Pelaksanaan Pilot Project dengan tema “Percepatan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria dari Pelepasan Kawasan Hutan yang Dapat Dikonversi Tidak Produktif Berbasis Penataan Agraria Berkelanjutan”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Kamis (14/10/2021).
Lebih lanjut, Sofyan A. Djalil mengatakan, dalam rapat ini perlu dilakukan koordinasi agar terciptanya persamaan dan keputusan di tingkat kebijakan serta kesepakatan seluruh K/L terkait pelepasan kawasan hutan HPK (Hutan Produksi yang dapat Dikonversi) yang tidak produktif.
“Kita formulasi policy setelah ada policy yang konkret dan sudah ditentukan. Kemudian tahap berikutnya kita implementasi dalam beberapa aspek,” ujarnya.
Pelaksanaan pilot project ini akan dilaksanakan di lokasi pencadangan HPK tidak produktif di empat provinsi, di antaranya Provinsi Sumatra Selatan pada Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin seluas 30.306,29 hektare (ha), Provinsi Kalimantan Timur pada Kabupaten Kutai Kartanegara seluas 3.842,31 ha, Provinsi Kalimantan Tengah pada Kabupaten Pulang Pisau seluas 5.500,94 ha, dan Provinsi Kalimantan Barat pada Kabupaten Sintang seluas 14.310,42 ha.
Menteri ATR/Kepala BPN menuturkan, pilot project yang dilaksanakan ini bisa lebih baik dan efektif karena terdapat anggaran yang merupakan pinjaman dari luar negeri dan dapat digunakan secara fleksibel dan multi years.
“Kita juga ada konsultan dan kontraktor dibayar dengan anggaran tersebut dan dengan melalui pengawasan yang ketat sehingga program bisa terlaksana,” tuturnya
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruanda A. Sugardiman yang juga mewakili Menteri KLHK ini berkata, KLHK mendorong para instansi pemerintah, baik di pusat, provinsi, dan kabupaten untuk secepatnya mengusulkan permohonan dalam rangka penyediaan TORA dari alokasi kawasan hutan.
“Telah ditetapkan pencadangan HPK tidak produktif sebagai sumber TORA, bukan berarti proses redistribusi telah selesai. Namun, ada tantangan yang harus dihadapi, bagaimana mendorong percepatan permohonan HPK yang tidak produktif oleh pemerintah daerah maupun pusat dengan disertai proposal permohonan dan harus bertujuan Reforma Agraria yang tepat dalam pelaksanaan redistribusi dan penataan akses TORA kepada masyarakat yang membutuhkan,” kata Ruanda A. Sugardiman.
Ketua Panitia Rakor yang juga selaku Direktur Landreform pada Direktorat Jenderal Penataan Agraria, Sudaryanto, mengatakan tujuan diselenggarakan Rakor ini untuk memastikan semua pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang sama.
“Ini langkah awal untuk memastikan semua pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam pilot project memiliki pemahaman yang sama mengenai tujuan, ruang lingkup, dan sasaran kegiatan ini sebagai rangka percepatan Reforma Agraria, khususnya redistribusi tanah yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan,” imbuhnya.
Tinggalkan Balasan