Kaimana – Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendapat mandat untuk melakukan percepatan pelaksanaan Reforma Agraria Papua.
Melihat bentang alam Papua yang berupa wilayah adat dan mayoritas masuk ke dalam kawasan hutan maka perlu dilakukan pemetaan khusus, terkait wilayah adat sebagai upaya mengatur urusan pertanahan di negeri cendrawasih ini.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra berkata bahwa dalam melakukan pemetaan wilayah adat, sebagai contoh Kementerian ATR/BPN melalui Kanwil BPN Provinsi Papua tengah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) yang ada di Papua.
“Reforma Agraria kontekstual Papua perlu dimulai dari pemetaan wilayah adat maka akan menjadi lebih mudah untuk bermusyawarah terkait penyelesaian masalah pertanahan di Papua,” terang Surya Tjandra melalui keterangan pers, Sabtu (30/10)
Hal itu juga sejalan dengan instruksi ketiga Presiden Jokowi kepada Menteri ATR/Kepala BPN, yaitu untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah melalui pendaftaran tanah adat, sesuai hasil inventarisasi masyarakat hukum adat dan tanah adat.
“Saya kira Presiden Joko Widodo jelas sekali menginginkan pengakuan hak atas tanah masyarakat adat Papua,” tutur Surya Tjandra.
Tujuan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah juga tengah serius dibahas, menyusul keluarnya PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Surya Tjandra berkata bahwa pada PP Nomor 18 Tahun 2021 juga mengatur tentang Pemberian Hak Pengelolaan (HPL) bagi Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
“Masyarakat adat nantinya mendapatkan HPL yang di atasnya dapat diberi Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), diharapkan manfaatnya dapat kembali kepada masyarakat adat,” jelasnya.
Kebijakan pertanahan terkait pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat, Kementerian ATR/BPN juga tengah melakukan kerja sama dengan Universitas Cendrawasih dalam bentuk identifikasi subjek masyarakat adat di Papua dan Papua Barat. Selain itu, kebijakan lainnya terkait dengan tata ruang ialah dengan didorongnya wilayah adat agar terakomodir dan diakui dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi.
“Perlu diperhatikan rencana tata ruang berbasis mitigasi, perubahan iklim, dan pengurangan risiko bencana,” kata Wamen ATR/Waka BPN.
Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, Surya Tjandra mengatakan akan terbentuknya kesejahteraan yang dibarengi dengan kelangsungan masyarakat adat, kelestarian lingkungan, juga kemajuan ekonomi.
“Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus sensitif dan mengetahui kebutuhan masyarakat Papua dan Papua Barat. Kami sangat terbuka dan siap untuk berdialog serta berdiskusi,” pungkas Surya Tjandra.
Terkait dengan masyarakat adat di tanah Papua, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw yang hadir secara daring berkata bahwa masyarakat adat itu tidak bisa dipisahkan dengan tanah adatnya. Tanah ini merupakan modal satu-satunya bagi masyarakat adat untuk hidup dan berkembang.
“Inilah keunikan Papua dibandingkan dengan daerah lain. Kita juga bersyukur negara ini memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya melalui beberapa kebijakan,” kata Bupati Jayapura.
Bupati Jayapura juga berkata bahwa pihaknya telah melakukan kerja sama dengan Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua untuk bersama mengatur administrasi pertanahan dan kepastian hukum.
“Ini menjadi bukti bahwa kita sudah terhubung dan satu pikiran dengan pemerintah pusat, dalam hal ini ialah Kementerian ATR/BPN terkait pengakuan serta hak hidup masyarakat Papua. Sudah saatnya kita bergerak,” tutup Bupati Jayapura.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan