JAKARTA, Eranasional.com – Sepanjang tahun 2022, sejumlah jenderal di institusi Polri menjadi sorotan karena terlibat dalam kasus pelanggaran hukum. Bukannya menjadi contoh teladan bagi bawahannya dan masyarakat, kelakuan mereka justru merusak citra Korps Bhayangkara.
Salah satu jenderal polisi yang menggegerkan publik karena perbuatannya adalah mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Ferdy Sambo yang terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J ini didalangi oleh Ferdy Sambo terjadi pada 8 Juli 2022. Tetapi, baru terekspos ke media pada 11 Juli 2022.
Tentunya, kejadian itu berdampak pada citra Polri di tengah masyarakat. Mengingat Ferdy Sambo adalah jenderal bintang dua. Ditambah lagi, kasus pembunuhan berencana Brigadir J melibatkan seorang jenderal lainnya dan puluhan anggota Polri, sehingga membuat citra Polri anjlok.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, penurunan citra Polri yang terbesar terjadi pada Juni-Oktober 2022. Citra positif Polri periode Oktober 2022 menjadi yang terendah dalam dua tahun belakang.
pada Oktober 2021, citra negative Polri hanya 18,5%. Lalu meningkat pada Januari 2022 menjadi 21,9%. Kemudian meningkat lagi pada Juni 2022 menjadi 24,7%. Peningkatan paling tajam terjadi pada periode Juni-Oktober 2022, yakni sebesar 18,4%. Pada akhir Oktober 2022, citra negatif Polri menyentuh angka 43,1%.
Sementara itu, Lembaga survei Charta Politika juga mengungkap tingkat kepercayaan publik terhadap Polri merosot di pertengahan tahun 2022. Anjloknya kepercayaan publik terhadap Polri merosot di pertengahan tahun 2022.
Anjloknya kepercayaan publik ke Polri terjadi sejak kasus Ferdy Sambo atau pada Juli 2022.
Kepercayaan terhadap Polri pada Juni 2022 mencapai angka 73%, tetapi menurun menjadi 56% di bulan September 2022.
“Ada sebuah kasus besar di tahun ini yang menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan terhadap Polri. Kalau kita lihat hasil survei dari bulan Juni ke September 2022, sebelumnya berada di peringkat ketiga di angka 70% lebih, anjlok di angka 56%,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya pada 22 Desember 2022.
“Dan kita tahun ini disebabkan karena kasus Sambo. Cukup mempengaruhi secara menyeluruh terhadap institusi Polri,” sambungnya.
Namun, belakangan tingkat kepercayaan publik ke Polri mulai meningkat. Pada Desember 2022, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri, minimal sudah di angka 62,4%.
“Ada kenaikan dari tingkat kepercayaan publik terhadap Polri, minimal sudah di angka 62,4%,” tuturnya.
Berikut ini kasus sejumlah jenderal di institusi Polri yang menjadi sorotan sepanjang tahun 2022:
Irjen Ferdy Sambo – Pembunuhan Berencana Brigadir J
Ferdy Sambo kini sudah dipecat atau diberhentikan secara tidak terhormat (PTDH) olej Polri atas perbuatannya. Ia didakwa membunuh salah satu ajudannya, Brigadie J, pada 8 Juli 2022 di rumah dinasnya di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Sambo didakwa bersama dengan istrinya, Putri Candrawathi, ajudannya Richard Eliezer alias Bharada E, Ricky Rizal alias Bripka RR, dan seorang warga sipil yang bertugas sebagai sopir pribadi Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf.
Dalam surat dakwaan, Ferdy Sambo memerintahkan kepada Bharada E untuk menembak Brigadir J.
Ferdy Sambo berdalih alasan pembunuhan itu akibat tindakan Brigadir J yang telah memerkosa istrinya saat berada di rumahnya yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah.
Hingga kini, kasus pembunuhan ini masih berproses di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sambo dan empat terdakwa lainnya dijerat Pasal 340 KUHP subside Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 KUHP.
Kelimanya terancam pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.
Khusus Ferdy Sambo, juga didakwa terlibat obstruction of justice atau perintangan proses penyidikan pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia dijerat dengan Pasal 49 jo Pasal 33 subsider Pasal 48 Ayat (1) jo Pasal 32 Ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subside Pasal 221 Ayat (1) ke 2 jo Pasal 55 KUHP.
Brigjen Hendra Kurniawan – Perintangan Penyidikan Kasus Pembunuhan Berencana Brigadir J
Dalam kasus obstruction of justice, Ferdy Sambo menyeret sejumlah anak buahnya, salah satunya adalah Brigjen Hendra Kurniawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Kabiro Paminal) Divisi Propam Polri.
Dalam dakwaannya, Hendra Kurniawan disebut orang yang memastikan perintah Ferdy Sambo untuk menghapus seluruh rekaman kamera CCTV yang diambil dari sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Selain Hendra Kurniawan, Sambo juga menyeret sejumlah perwira Polri yaitu Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rachman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
Menurut dakwaan, pada 14 Juli 2022 sekitar pukul 21.00 WIB, Kompol Baiquni Wibowo menemui AKBP Arif Rachman untuk memberitahukan bahwa semua file rekaman kamera CCTV di sekitar TKP penembakan Brigadir J yang sempat disimpan di laptopnya sudah dihapus.
“Kemudian, Baiquni Wibowo meletakkan laptop tersebut di jok belakang sopir mobil Arif, setelah itu Baiquni Wibowo pergi,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan di PN Jaksel, pada 19 Oktober 2022.
Di hari yang sama, sekitar pukul 23.00 WIB, Hendra Kurniawan menelepon Arif Rachman melalui jaringan WhatsApp Call menanyakan soal rekaman kamera CCTV itu karena sebelumnya Ferdy Sambo memerintahkan supaya seluruhnya dihapus.
Atas perbuatannya, Hendra Kurniawan dan anggota Polri lainnya dijerat dengan dakwaan berlapis yakni melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 subsider 48 jo Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Hendra Kurniawan juga dijerat Pasal 233 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dan Pasal 221 ayat (1) ke 2 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Teddy Minahasa – Kasus Jual Beli Narkoba
Di awal Oktober 2022, publik kembali dikejutkan dengan adanya penangkapan jenderal bintang dua Polri terkait kasus jual beli narkoba, yakni mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa. Hal itu diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo SIgit Prabowo pada 14 Oktober 2022.
Teddy Minahasa diduga terlibat soal penjualan barang bukti narkoba. “Saya kira dugaan keterlibatan yang bersangkutan menjual barang bukti narkoba kita sudah mendapatkan, namun secara teknis nanti Pak Kapolda Metro Jaya yang akan menjelaskan,” kata Listyo Sigit di Mabes Polri, Jakarta.
Kapolri Sigit menjelaskan, terungkapnya keterlibatan Teddy Minahasa dalam kasus ini berawal dari laporan masyarakat terkait jaringan peredaran gelap narkoba. Berawal dari situ, Polda Metro Jaya berhasil mengamankan tiga orang sipil.
Kemudian, dilakukan pengembangan yang ternyata mengarah pada keterlibatan seorang anggota polisi berpangkat Bripka dan seorang lagi berpangkat Kompol dengan jabatan Kapolsek.
Kasus ini terus dikembangkan hingga terungkap seorang pengedar yang mengarah pada personel Polri berpangkat AKBP, yakni mantan Kapolres Bukti Tinggi, Sumatera Barat.
“Dari situ kemudian kita melihat ada keterlibatan Irjen TM (Teddy Minahasa),” kata Kapolri Sigit.
Tak lama setelah pengungkapan kasus ini, Kapolri mencopot Teddy Minahasa dari jabatan Kapolda Sumatera Barat. Teddy juga batal menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur. Setelah dicopot, dia langsung dimutasi ke Pelayanan Markas (Yanma) Polri.
“Terkait dengan posisi Irjen TM yang kemarin baru saja kita keluarkan TR (Telegram Rahasia) untuk mengisi posisi Kapolda Jawa Timur, hari ini saya akan keluarkan TR pembatalan dan kita ganti dengan pejabat yang baru,” ucap Listyo Sigit.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bidang Kepolisian Bambang Rukminto menilai, pengungkapan kasus peredaran narkoba Irjen Teddy Minahasa saja tak cukup mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri. “Pengungkapan kasus TM ini tidak akan bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada kepolisian,” ujar Bambang, Sabtu (15/10/2022).
Justru, menurut Bambang, penetapan Teddy Minahasa sebagai tersangka kasus peredaran narkoba memunculkan asumsi adanya perang antarfaksi di internal Polri.
Kondisi demikian mungkin terjadi mengingat pola pembinaan karir SDM Polri masih jauh dari meritokrasi dan lebih mementingkan kedekatan, kolusi, atau nepotisme.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan