Ilustrasi (Foto: Net)

JAKARTA, Eranasional.com – Ahli epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman menyebut dunia, termasuk Indonesia berisiko mengalami hiperendemi (hyperendemic) COVID-19. Fenomena ini memunculkan kemungkinan kasus COVID-19 akan naik lagi, utamanya jika tidak tahan melalui penerapan protokol kesehatan (prokes) dan akselerasi vaksin hingga dosis ketiga (booster).

Untuk diketahui, hiperendemi merupakan kondisi saat suatu penyakit muncul terus-menerus di wilayah geografis dan dalam intensitas yang lebih tinggi dibanding endemi.

“Kemungkinan COVID-19 akan naik lagi, ya mungkin. Ada kecenderungannya selain masih belum terkendali, sekarang ke arah hiperendemi. Dan ini yang terjadi di dunia, yang artinya tentu akan bisa terjadi dan berdampak ke Indonesia,” kata Dicky, Jumat (6/1/2023).

Dicky menuturkan, hiperendemi mungkin terjadi menyusul fakta bahwa wabah SARS CoV-2 sulit diatasi jika hanya bergantung pada penerapan prokes sebagai upaya, seperti 3T, 5M, dan lain-lain.

Faktor lain yang membuat virus mudah bermutasi adalah biologis dari virus yang makin menentukan seberapa cepat ia mampu bermutasi.

Mutasi varian baru ini kemudian lebih menginfeksi dan menimbulkan kesakitan. Bahkan, mampu menembus antibodi jika akselerasi vaksinasi masih begitu rendah. Beberapa varian baru, kata Dicky, sudah mampu menyebabkan permasalahan jangka panjang di dalam tubuh.

“Saat ini XBB sudah jauh lebih ke arah penyakit yang membawa permasalahan jangka panjang, infeksi kronik, kerusakan organ, menurunkan imunitas. Tantangannya jadi lebih kompleks,” tuturnya.

“Jadi bukan hanya masalah kematian keparahan, tetapi pola hiperendemi saat ini kecenderungannya akan terjadi kasus infeksi yang tinggi. Tidak bisa diprediksi tapi tinggi. Karena itu, akselerasi vaksinasi harus terus digencarkan,” sambung Dicky.

Hingga Kamis (5/1/2023) pukul 18.14 WIB, baru 174.825.069 atau 74,50 persen rakyat Indonesia yang mendapat vaksinasi dosis kedua. Sementara itu, masyarakat yang sudah disuntik vaksin dosis ketiga atau penguat (booster) mencapai 68.695.826 atau 29,27 persen.

Dicky pun menyarankan agar masyarakat tetap menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dan protokol-protokol kesehatan. Menurut dia, lebih baik mencegah dari pada mengobati.

“Pokoknya sampaikan saja masker tetap harus dipakai, jangan buat masyarakat bingung. Kalau dikatakan enggak pakai masker, ya enggak usah pakai masker. Kita ambil risiko yang paling kecil,” pungkasnya.