Satriwan Salim, selaku Koordinator Nasional P2G

JAKARTA, Eranasional.com –Aksi mencukur rambut guru yang dilakukan orang tua siswa SD Negeri 13 Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, menuai kecaman. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengecam sikap orang tua mencukur paksa rambut seorang guru bernama Ulan Hadji (27).

Bagi P2G, Guru adalah profesi sangat terhormat yang harus dijaga martabatnya sesuai perintah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen.

Bahkan secara praktis di sekolah, aktifitas Guru dalam mengajar dan mendidik di sekolah sudah dilindungi melalui Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Guru dan Tenaga Kependidikan.

“Dalam perseptif regulasi, profesi guru itu berhak mendapatkan empat (4) jenis perlindungan hukum, profesi, kesehatan dan keselamatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual,” jelas Satriwan Salim, selaku Koordinator Nasional P2G dalam keterangannya.

Guru berhak mendapatkan perlindungan dalam bekerja atas tindakan intimidasi, kekerasan, serta pelecehan terhadap profesi. Aturan ini tertuang jelas dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017, Pasal 2 ayat 1 sampai 5.

“P2G juga cemas, kejadian serupa sering terulang, baik di jenjang Sekolah Dasar maupun menengah. Bahkan berujung pada tindakan pemidanaan Guru oleh orang tua, seperti pernah terjadi di Banyuwangi dan Majalengka,” jelasnya

Oleh karena itu, P2G memberikan lima (5) rekomendasi agar peristiwa serupa tidak lagi berulang di masa mendatang.

Pertama, sekolah dan guru hendaknya mengubah metode pendisiplinan siswa. Mindset Guru mesti disegarkan kembali. Diberi wawasan dan keterampilan komprehensif mengenai UU Perlindungan Anak dan Metode Disiplin Positif. Siswa bukan lagi objek.

Sekolah harus mereformulasi aturan mengenai atribut siswa dan tampilan rambut siswa. Asosiasi siswa rambut gondrong adalah anak nakal merupakan warisan cara pandang lama dari Orde Baru yang mesti ditinggalkan. Bahwa ciri premanisme dan anak laki-laki nakal adalah berambut gondrong.

Bahkan sekolah seperti Pangudi Luhur tidak mempermasalahkan siswanya rambut gondrong. Dan prestasi siswanya tetap tinggi. Sepanjang anak-anak memahami tujuan dan peraturan sekolah secara umum.

Kedua, P2G fokus terhadap isu ini. Masyarakat khususnya orang tua siswa mesti memahami guru adalah profesi sangat terhormat, dilindungi oleh UU. Sudah seharusnya ortu menjaga kehormatan dan martabat guru.

Sebaliknya begitu pula siswa, sebagai pendidik, guru semestinya memahami UU Perlindungan Anak, yang menekankan upaya edukatif dan menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya sebagai anak. Mendisiplinkan anak tidak bisa lagi dengan mempermalukan anak, hukuman fisik, kekerasan, makian, dan teriakan. Jangan lagi mempermalukan anak di muka umum atau mencukur rambut mereka dengan asal-asalan sehingga mereka malu.

“Kami menyesalkan ortu tak menghargai martabat guru. Tapi kami juga menyayangkan hukuman mencukur rambut anak asal-asalan, masih berkembang di sekolah kita. Mendisiplinkan itu tujuannya bukan mempermalukan anak, melainkan pengembangan perilaku,” lanjut Satriwan.

Ketiga, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mendorong perlunya sosialisasi aturan sekolah kepada ortu dan siswa secara intensif. Ortu harus sering-sering berkomunikasi dengan guru dan wali kelas dalam membimbing dan mengawasi anak.

“Kejadian ini kan menjadi indikasi terhambatnya komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua,” kata Iman.

P2G mendorong harus dimulainya gerakan transformatif oleh sekolah. Seperti libatkan anak dan orang tua siswa dalam membuat aturan disiplin sekolah.

“Jangan lagi aturan hanya dibuat eksklusif oleh guru. Siswa dan ortu pasif menerima saja. Harus ada kesepakatan bermakna. Jika itu dilakukan, maka akan terbentuk ekosistem sekolah yang demokratis, dialogis, dan partisipatif,” jelas Iman.

Tidak seperti sekarang, dimana aturan sekolah masih dirasakan semata-mata sebagai alat untuk menghukum siswa.

Keempat, cara pandang pemberian sanksi bagi siswa, seperti yang berambut panjang tidak bisa lagi dengan cara-cara lama, yaitu rambut siswa dipotong dengan asal-asalan oleh guru. Padahal usia remaja masih didorong oleh perasaan “jaim” (jaga image) yang tinggi dalam diri anak.

Anak remaja secara psikologis pantang untuk dipermalukan, apalagi menyangkut fisik mereka. Sebaliknya anak remaja inginnya didengarkan apa yang menjadi isi hatinya, dihargai pendapatnya, dan diajak dialog bersama.

“Seandainya mencukur siswa ada di aturan sekolah, mengapa guru memotongnya asal-asalan? Ini rasanya kurang pas. Coba misalkan guru memotongnya rapi, enak dipandang, besar kemungkinan anak dan orang tua tidak mempermasalahkannya,” ujarnya.

Poinnya adalah harus ada perubahan paradigma dalam mendisiplinkan siswa, dengan mengembangkan “disiplin positif” diantaranya.

Disiplin positif adalah cara penerapan disiplin tanpa kekerasan dan ancaman yang dalam praktiknya melibatkan komunikasi tentang perilaku yang efektif antara ortu dan anak.

Dalam praktiknya anak diajarkan memahami konsekuensi perilaku mereka. Disiplin positif mengajarkan anak rasa tanggung jawab dan penghormatan dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Kelima, dengan maraknya kejadian seperti ini, agar tak ada lagi korban dari guru atau siswa, P2G mendesak perlu disosialisasikannya “Kode Etik Guru Indonesia”, yang sudah disepakati para organisasi profesi guru tingkat nasional, yang difasilitasi Kemdikbudristek baru-baru ini. Agar guru, orang tua, dan siswa memahami dan menghargai peran, kedudukan, fungsi, dan martabat masing-masing.