JAKARTA, Eranasional.com – Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan nikah beda agama diakomodasi negara atau tidak. Keputusan akan ditetapkan awal pekan ini.
“Pengucapan putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” demikian bunyi jadwal sidang MK, sebagaimana dilansir website MK, Senin (30/1/2023).
Putusan uji materiil Undang-Undang Pernikahan tersebut rencananya dibacakan pada Selasa (31/1) besok. Sidang itu menindaklanjuti permohonan Ramos Petege, pemeluk agama Katolik yang gagal menikahi perempuan beragama Islam.
Ramos Petege lalu menggugat UU Pernikahan ke MK dan berharap pernikahan beda agama diakomodasi UU Perkawinan. Untuk mengurai permasalahan konstitusionalitas pernikahan beda agama, MK telah menggelar sidang sebanyak 12 kali.
MK Pernah Menolak Permohonan Nikah Beda Agama
Gugatan Ramos Petege bukan hal baru. Pada 2014, isu serupa pernah diadili MK dengan pemohon sejumlah mahasiswa dan hasilnya MK menolak permohonan itu. Apa alasan MK kala itu?
“Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” demikian bunyi pertimbangan MK.
MK menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia.
“Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan,” urai MK.
Bila melihat komposisi majelis hakim yang mengadili perkara itu pada 2014 dan 2023 saat ini, maka putusan bisa berubah karena 6 hakim MK sudah berganti. Berikut komposisinya:
– Hakim MK Inkumben yang Mengadili di 2014:
– Arief Hidayat (unsur DPR)
– Anwar Usman (unsur MA)
– Wahiduddin Adams (unsur DPR)
– Hakim MK baru yang mengadili perkara pernikahan beda agama di 2023:
– Manahan Sitompul menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi (unsur MA)
– Daniel Yusmic menggantikan Patrialis Akbar (unsur Presiden)
– Suhartoyo menggantikan Muhammad Alim (unsur MA)
– Eny Nurbaningsih menggantikan Maria Farida Indrati (unsur Presiden)
– Saldi Isra menggantikan Hamdan Zoelva (unsur Presiden)
– Guntur Hamzah menggantikan Aswanto (unsur DPR)
Dari komposisi di atas, 6 hakim MK merupakan hakim konstitusi yang belum mengadili perkara pernikahan beda agama di 2014 sehingga semua kemungkinan bisa terjadi. Bisa tetap seperti 2014 atau berbalik arah.
Meski demikian, putusan besok bisa diterka-terka disimak dari peta perdebatan sidang beberapa waktu lalu.
Pertanyaan Hakim Konstitusi
Hakim konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga konstektualnya bisa saja dikaji lagi.
“Sebenarnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih tahun,” kata Suhartoyo.
Suhartoyo menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan Arsul Sani. Diterangkan Arsul Sani bila larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan itu.
“Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis seperti 1973 atau kah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174 itu, Pak Arsul?” tanya Suhartoyo.
Sedangkan hakim konstitusi Daniel Yusmic menggarisbawahi pada kenyataannya nikah beda agama tersebut terjadi di Indonesia. Pemerintah diminta memberi solusi.
“Jalan tengahnya seperti apa?” tanya Daniel tegas.
Sikap Pemerintah
Pemerintah menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.
“Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” demikian keterangan resmi pemerintah.
Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
“Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama,” kata kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.
Menurut pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.
“Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan,” urai pemerintah.
Dukungan Terhadap Diperbolehkan Nikah Beda Agama
Pemohon mengajukan sejumlah ahli yang menguatkan dalilnya. Di antaranya Rocky Gerung yang menyatakan negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang. Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan soal nikah beda agama.
“UU ini bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam. Perkawinan itu adalah peristiwa perdata. Dalam UU disebut hak, bukan kewajiban. Jadi boleh tidak memakai hak itu,” kata Rocky.
“Di agama juga bukan kewajiban. Hak beragama dijamin oleh negara, tapi tidak ada kewajiban negara untuk warganya beragama kecuali disebutkan secara jelas bahwa setiap warga negara Indonesia wajib beragama,” papar Rocky Gerung.
Hadir juga Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang menyatakan sudah saatnya tidak ada keraguan untuk membolehkan menikah beda agama.
“Berbagai norma internasional yang tertuang di dalam Deklarasi Universal HAM, berbagai perjanjian internasional hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, budaya dan juga berbagai konvensi yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, jelas memberikan hak dan kebebasan kepada laki‐laki maupun perempuan untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama, etnisitas, maupun status sosial lainnya,” kata Usman Hamid.
Adapun psikolog Dr Risa Permanadeli menyatakan pernikahan beda agama tidak bisa dihindari di negara majemuk seperti di Indonesia. Oleh sebab itu, Risa menilai sudah saatnya negara membuka peluang untuk membolehkan pernikahan beda agama.
“Apa artinya menjadi bangsa yang heterogen dan majemuk? Artinya setiap warga negara, setiap orang dalam perjalanan menempuh kehidupan di negara ini akan selalu memiliki kemungkinan dan peluang untuk bertemu dengan orang lain yang berbeda sekali, entah ras, entah suku, entah bahasa, entah tradisi, entah kepercayaan, entah agama atau mungkin hal yang sangat sepele seperti selera, apalagi dengan kehidupan modern di mana semua elemen bertemu seperti arus globalisasi misalnya,” kata Risa.
Sedangkan dosen komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyatakan pangkal masalah pernikahan beda agama adalah perbedaan tafsir di dalam Islam sendiri. Ada yang setuju larangan nikah beda agama, tapi ada yang tidak mempermasalahkannya.
“Memang dari apa yang saya pelajari selama ini, tafsir dominan adalah yang mengharamkan pernikahan beda agama. Itu pun terpecah,” kata Ade Armando.
Dia memberikan contoh Fatwa MUI DKI Jakarta pada 30 September 1986 yang mengeluarkan fatwa membolehkan pernikahan beda agama dengan merujuk sejumlah pandangan ulama. Tapi Fatwa MUI DKI itu dibatalkan belakangan.
“Namun yang terpenting, MUI DKI pernah mengeluarkan fatwa yang membolehkan pernikahan beda agama dan bertahan selama 14 tahun. Ini menunjukkan perbedaan penafsiran di antara ulama sendiri,” ungkap Ade Armando.
Kontra Nikah Beda Agama
Dalam sidang itu, sejumlah kelompok masyarakat yang menolak pernikahan beda agama masuk menjadi pihak terkait. Ada juga ahli yang dihadirkan dari pemerintah. Di antaranya ahli dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Teten Romly Qomaruddien yang mengatakan persoalan pernikahan beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti. Walaupun, kata Teten, pada dasarnya ajaran Islam telah membedakan dan telah memberikan aturan yang jelas.
“Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma’ para ulama di setiap zamannya,” jelas Teten.
Sedangkan Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Atip Latipulhayat juga menolak nikah beda agama dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Sebab, HAM bersifat partikular dan tidak universal. HAM tergantung masing-masing negara, bukan berlaku untuk semua negara.
“Perbedaan pandangan antara konsep universalisme dan partikularisme HAM sebenarnya sudah berakhir sejak ditandatanganinya Deklarasi Wina 1993 yang menyatakan bahwa terdapat pengakuan terhadap adanya standar minimum regional. Deklarasi tersebut menyatakan pula bahwa penerapan nilai universalisme HAM harus memperhitungkan juga kondisi setiap negara yang memiliki keberagaman budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik,” kata Atip.
Begitu juga dengan ahli hukum dari Universitas Indonesia (UI), Dr Neng Djubaedah PhD, yang menolak pernikahan beda agama karena perkawinan adalah ibadah. Oleh sebab itu, nikah tidak akan menjadi ibadah bila dilakukan dengan orang yang berbeda agama.
“Jadi dalam hal ini, kalau dilihat dari hukum Islam bahwa pernikahan itu merupakan ibadah,” kata Neng Djubaedah.
Ahli psikologi yang dihadirkan pemerintah, Euis Nurlaelawati membeberkan sejumlah dampak negatif pernikahan beda agama.
“Kalau kita berbicara terkait dengan aspek-aspek pernikahan di dalam hukum perkawinan, kita memahami bahwa aspek biologis, ada aspek agama, ada aspek psikologis, pedagogis, ada aspek politis, ada aspek ekonomi, dan ada aspek sosiologis,” kata Euis.
Euis menegaskan pernikahan satu agama lebih baik daripada antar agama.
“Jadi, saya memahami dengan merujuk kepada berbagai aspek tadi, maka perkawinan itu memang akan bisa berjalan dengan cukup baik jika dilakukan dengan sesama agama. Dan jika dilakukan dengan orang yang berbeda agama atau pasangan yang beda agama, maka mungkin kemaslahatan itu akan ada,” ujar Euis.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menolak tegas legalisasi pernikahan beda agama. Menurut DDII, alasan HAM tidak bisa dipakai untuk pernikahan beda agama karena HAM ada batasnya.
“Bagi Bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain,” kata jubir DDII, Abdullah Al Katiri.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan