Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Istimewa/Dok PDIP)

JAKARTA, Eranasional.com – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan memimpin negara tidaklah mudah. Untuk itu dia meminta rakyat Indonesia tidak memilih pemimpin berdasarkan parasnya saja. Ocehan Presiden RI ke-5 itu membuat Partai Demokrat tersinggung.

Megawati menceritakan pengalamannya ketika hendak maju kembali sebagai Presiden RI. Saat itu, kata Megawati, ada seorang ibu-ibu menyatakan ingin memilih pemimpin ganteng.

Berdasarkan pengalamannya itu, Megawati menyarankan ketika memilih pemimpin jangan hanya berdasarkan tampangnya.

“Kalau memilih pemimpin jangan karena lihat tampangnya. Aduh saya jadi pusing,” kata Megawati di acara puncak Bulan Bung Karno, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Sabtu (24/6/2023).

“Aduh ibu, maaf. Sebetulnya saya mau pilih ibu lagi, tapi kok saya kepinginnya milih yang ganteng,” lanjut Megawati bercerita.

Sebagai informasi, pada Pilpres 2004 Megawati mencalonkan diri kembali sebagai capres berpasangan dengan Hasyim Muzadi sebagai cawapres.

Pada putaran kedua, Megawati-Hasyim Muzadi berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). Dan, hasilnya Megawati-Hasyim kalah dari SBY-JK.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Istimewa/Dok PDIP)

Pada Pilpres 2009, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai capres berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres. Begitu juga dengan SBY yang kali ini berduet dengan Boediono. Kontestan lainnya JK-Wiranto. Hasilnya, SBY kembali terpilih sebagai Presiden RI.

Respon Partai Demokrat

Menanggapi ucapan Megawati Soekarnoputri, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Rachland Nashidik menegaskan kemenangan SBY pada Pilpres 2004 dan 2009 bukan faktor tampang.

“Kalau mau sedikit lebih serius membahas kekalahan Ibu Mega dari Pak SBY, penyebabnya bukan karena tampang, tapi pertama-tama perkara jenis kelamin,” kata Rachland, Minggu (25/6/2023).

Menurut dia, hal ini berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang kala itu masih patriakis, yakni belum dapat menerima sosok perempuan sebagai pemimpin, meski banyak sosok perempuan yang mampu memimpin bangsa ini.

“Masyarakat patriakis di Indonesia masih lebih banyak yang belum bisa menerima perempuan menjadi Presiden. Padahal sebenarnya, makin ke sini, terbukti bukan saja makin banyak perempuan yang unggul, tapi juga mampu mengungguli laki-laki,” ujar Rachland.

Rachland pun memuji Megawati adalah seorang pendekar reformasi. Menurut dia, meski memimpin Indonesia dalam waktu singkat tapi lebih mampu menurunkan angka kemiskinan jika dibandingkan dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dua periode atau 10 tahun.

“Kalau mau jujur, prestasi pemerintahannya, meski hanya singkat, sebenarnya melebihi prestasi Pak Jokowi, misalnya dalam menurunkan debt to equity ratio dan angka kemiskinan,” tukasnya.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Istimewa/Dok PDIP)

Selain unsur patriaki, lanjut Rachland, faktor kekalahan Megawati dari SBY yaitu terlalu percaya diri. “Faktor lain yang membuat beliau kalah karena rasa percaya dirinya yang terlalu besar. Bangga sebagai putri dari Soekarno, Presiden pertama RI dan Pahlawan Nasional, yang kerap beliau sampaikan dalam berbagai cara yang justru membuat persepsi di masyarakat berbeda dari yang dia inginkan,” jelas Rachland.

Akhirnya, lanjut dia, publik menilai Mega dan PDIP seakan-akan ingin memiliki Indonesia dan mengatur seenaknya sendiri jalannya pemerintah tanpa melibatkan banyak pihak.

“Seolah-olah Ibu Mega dan PDIP sombong, merasa ‘paling’ sendiri, paling Pancasila, misalnya, dan tidak membutuhkan kerjasama dengan pihak lain,” ucap Rachland.

“Lebih dari itu, Ibu Mega dan PDIP dinilai seolah-olah memperlakukan Indonesia sebagai pekarangan dari rumah pribadinya, yang bisa beliau atur-atur sendiri,” pungkasnya.