Bahkan, lanjut Nadiem, setiap Prodi di Perguruan Tinggi bisa mendebat Badan Akreditasi terkait kebijakan skripsi. Apabila merasa para mahasiswanya sudah lulus uji kompetensi maka skripsi bisa jadi tidak diwajibkan.
“Misalnya, program studi ini sudah menerapkan project based learning di dalam kurikulum mereka, maka prodi itu bisa berdebat dengan Badan Akreditasi untuk bilang bahwa mahasiswanya sudah melalui berbagai macam tes kompetensi di dalam pendidikan tiga empat tahun, dan merasa tidak membutuhkan tugas akhir untuk membuktikannya, karena sudah membuktikan. Itu bisa dilakukan,” jelas Nasdiem.
Meski begitu, kata Nadiem, pihak Perguruan Tinggi harus bisa menyakinkan Badan Akredititasi untuk tidak mewajibkan pembuatan skripsi sebagai tugas akhir.
“Jadi untuk beberapa prodi yang merasa proses mereka sudah dengan project based, sudah ada pembuktian hasil kompetensi, tugas akhir (skripsi) tidak wajib. Dalam hal ini siapa yang harus diyakinkan, tentunya Badan Akreditasi,” imbuhnya.
Berikut aturan baru skripsi tak lagi wajib dari Kemendikbudristek:
Kompetensi tidak lagi dijabarkan secara rinci. Perguruan Tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap pengetahuan dan keterampilan secara terintegrasi.
Tugas akhir dapat berbentuk protype, proyek atau bentuk lainnya, tidak hanya skripsi/tesis/desertasi.
Jika program studi sarjana/sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus.tidak lagi bersifat wajib. Mahasiswa program magister/masgister terapan/doktor/doktor terapan wajib diberikan tugas akhir, tetapi tidak wajib diterbitkan di jurnal.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan