ERANASIONAL.COM – Berita bohong atau hoaks sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Bahkan sejak awal penciptaan manusia, ketika Hawa menyampaikan kabar bohong kepada Adam.
Substansi hoaks selalu sama, kabar bohong yang bertujuang menyesatkan banyak orang.
Yang berubah adalah bentuk dam medium penyebarannya yang selalu mengikuti perkembangan teknologi.
Di Indonesia istilah hoaks atau ‘hoax’ mulai populer di akhir 2016. Menurut data Google Tren, pencarian kata hoax mulai meningkat sejak September 206 dan meningkat di Januari 2017.
Puncak pencarian kata ‘hoax’ terjadi pada Oktober 2018, dan paling tinggi Maret 2020.
Masih menurut Google Tren, salah satu kunci yang paling banyak dicari pada September 2016 ‘hoax adalah’. Artinya, netizen saat itu mulai terpapar istilah ‘hoax’, tetapi belum mengerti artinya.
Ketika istilah itu mulai banyak digunakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V dalam jaringan (daring) kemudian membakukan kata ‘hoax’ menjadi ‘hoaks’ pada 2017.
Meski sudah resmi menjadi bahasa Indonesia, sampai hari ini pencarian pouler di Google masih ‘hoax’ dibanding ‘hoaks’.
Hoaks dikategorikan sebagai kata sifat (adjektiva) yang artinya tidak benar atau bohong dan sebagai kata benda (nomina) yang artinya berita bohong.
Menurut Lynda Walsh dalam buku ‘Sins Against Science’, istilah hoax diyakini muncul di era revolusi industri dan berasal dari mantra sulap ‘hocus pocus’ (versi Indonesia adalah sim salabim) yang sudah ada dalam budaya Eropa sejak dulu.
Di era digital ini, percepatan penyebaran hoaks meningkat berkali-kali lipat dibanding dulu, karena semua orang terhubung dengan internet dan jejaring media sosial sehingga dampaknya pada publik semakin cepat terasa.
Karena hoak sesungguhnya bukan barang baru, sebaiknya kita melihat konteks sejarah bagaimana fenomena kabar bohong ini merupakan peristiwa berulang sepanjang sejarah peradaban manusia.
Hoaks di zaman Romawi
Dalam ‘A Short Guide to the History of Fake News and Disinformation’ yang dikeluarkan oleh International Center for Journalists disebutkan, kisah penyebaran kabar bohong paling kuno yang tercatat dalam sejarah adalah cerita pertarungan politik di masa Romawi, tahun 43SM, antara Mark Anthony dan Oktavianus yang memperebutkan takhta Romawi sepeninggal Julius Cesar.
Oktavianus menyebarkan kabar bohong soal Anthony yang digambarkan sebagai pemabuk dan penggoda wanita. Medium penyebarannya adalah koin.
Informasi sesat itu ditulis di koin-koin dan disebarkan ke masyarakat. Tujuannya adalah menjatuhkan reputasi Anthony.
Berkat penyebaran berita bohong tersebut, Oktavianus berhasil naik takhta dan menjadi Kaisar Romawi pertama dan dikenal dengan sebutan Kaisar Agustus.
Penemuan mesin cetak
Beratus-ratus tahun kemudian, penyebaran berita bohong semakin naik level kecepatannya ketika Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1493.
Mesin cetak dalam perkembangannya melahirkan surat kabar yang memiliki kemampuan lebih besar dalam menjangkau publik.
Di era surat kabar, ada kisah hoaks yang amat terkenal yang terjadi pada 1835, yaitu ‘The Great Moon Hoaks’.
‘The Great Moon Hoaks’ adalah serial enam artikel yang diterbitkan surat kabar The New York Sun. Artikel itu bercerita tentang kehidupan di bulan.
Dikisahkan, bahwa ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap kehidupan luar angkasa. Menurut cerita itu, bulan dihuni oleh makhluk-makhluk humanoid, yaitu setengah manusia setengah hewan.
Artikel ini dilengkapi dengan ilustrasi makhluk manusia kelelawar dan manusia unicorn biru berjanggut.
‘The Great Moon Hoax’ adalah salah satu hoaks terlaris abad ke-19.
Ada banyak kisah soal hoaks-hoaks lain yang juga populer di dunia dengan beragam topik dan kepentingan setelah itu.
Josep Goebbels, ahli propaganda Nazi, banyak memproduksi hoaks demi kepentingan perang Jerman.
Cerita senjata biologis Irak juga diyakini sebagai hoaks yang diproduksi Amerika Serikat (AS) sebagai justifikasi invasi AS demi menjaga stabilitas geopolitik timur tengah untuk kepentingan politik AS.
Pemilihan presiden AS 2016 yang dimenangkan Donald Trump juga menggunakan hoaks sebagai strategi pertarungan politik.
Hoaks di Pemilu 2014
Di Indonesia, berita bohong sebagai bagian dari kampanye masif pertarungan politik setidaknya mulai digunakan secara brutal pada hajatan Pilpres 2014, yaitu antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Intensitas aktivitas penyebaran informasi melalu media sosial meningkat tajam. Daya persebarannya berkali-kali lipat dibanding surat kabar. Namun, kasus hoaks terbesar di pilpres 2014 justru menggunakan medium kuno, persis seperti medium yang digunakan dalam kasus ‘The Great Moon Hoax’ di atas, yaitu surat kabar, tepatnya tabloid. Saat itu beredar tabloid ‘Obor Rakyat’ yang mendiskreditkan Jokowi.
Pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana tabloid ‘Obor Rakyat’, Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa akhirnya divonis satu tahun penjara dan mendekam di Lapas Cipinang sejak Mei 2018 hingga 3 Januari 2019.
Situs hoaks
Setelah 2014, hoaks seolah-olah menjadi tren di jagat digital Indonesia. Sumber utamanya adalah situs-situs online yang sangat mudah dibuat. Siapa pun bisa membuat situs apapun.
Situs-situs berisi hoaks pun menjamur. Motifinya tidak melulu kepentingan politik, tapi kepentingan ekonomi semata.
Ada dua situs populer yang jadi perbincangan publik tahun 2016, yaitu pos-metro.com dan nusanews.com. Auktor intelektualis di balik dua situs itu adalah dua mahasiswa asal Sumatera.
Inisiator komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho memperkirakan, penghasilan masing-masing situs itu mencapai Rp600 juta sampai dengan Rp700 juta per tahun.
Mafindo menganalisis trafik dan potensi iklan yang didapat dari AdSense. Begitu menjanjikannya pendapatan dari situs hoaks, bahkan ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) memilih keluar dari pekerjaannya untuk menekuni bisnis ‘hoaks’.
Di belahan dunia lain, pada tahun yang sama, hoaks memang menjadi ladang uang yang subur. Pilpres AS tahun 2016 pun banjir dengan situs hoaks bermotif ekonomi. Pelakunya bukan warga negara AS, tapi mencari keuntungan di celah-celah sentimen masyarakat AS yang terbelah antara kubu Donald Trump dan Hillary Clinton.
Salah satunya yang terungkap adalah Victor, remaja laki-laki berumur 16 tahun dari Veles, kota kecil di Makedonia. Ia bersama ratusan remaja lainnya berperan sebagai editor konten hoaks untuk situs-situs yang mereka dirikan.
Penelusuran Channel 4 menyebutkan, satu orang bisa meraup pendapatan sekitar Rp2,6 miliar dari pekerjaan ini.
Victor mengatakan, berita-berita palsu pro Trump begitu diburu di internet.
Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mencatat, setidaknya ada 800.000 situs hoaks di Indonesia pada 2016. Itu hanya jumlah situs. Belum jumlah akun media sosial yang menjadi jejaring penyebarannya.
Media sosial
Jejaring akun media sosial penyebar hoaks baru terbongkar pada tahun 2017. Namanya adalah Saracen. Mereka ini memiliki ribuan akun ternak media sosial dan memproduksi aneka konten sesat pesanan yang menyulut kebencian terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kasus Saracen menunjukkan bahwa hoaks diproduksi secara terorganisir dan sistematis. Gerombolan Saracen aktif terlibat dalam momentum Pemilu maupun Pilkada.
Mereka membuat konten berdasarkan pesanan pihak-pihak tertentu untuk menyerang lawan politik. Bahkan, mereka telah ada sejak pilpres 2014.
Mereka menawarkan tarif Rp72 juta kepada pihak-pihak yang ingin menggunakan jasa mereka.
Medium favorit penyebaran konten adalah Facebook. Lima anggotanya, yakni Rofi Yatsman, Faizal Tonong, Sri Rahayu, Harsono Abdullah, dan Asmadewi, divonis bersalah karena menyebarkan ujaran kebencian dan kasus SARA dengan hukuman bervariasi selama enam bulan sampai 2,5 tahun penjara.
Pimpinannya, Jasriadi, divonis 10 bulan penjara karena terbukti melakukan akses ilegal media sosial.
Setelah Saracen, polisi juga membongkar jaringan kelompok The Family Muslim Cyber Army (MCA). Kelompok ini memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.
MCA Indonesia menginduk ke United MCA, jaringan internasional yang berhasil memecah belah Suriah dan Irak. Motif MCA berbeda dengan Saracen. Jika Saracen motifnya ekonomi, MCA motifnya adalah ideologi tertentu.
Mereka ingin mendegradasi negara dengan memecah belah masyarakat dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penganiayaan ulama, dan penghinaan kepala negara.
Dalam kancah berita bohong, berbagai kepentingan seperti politik, ekonomi, dan ideologi saling terkait satu sama lain.
Lapangan pertempuran baru global
Sedikit meluaskan pembahasan, media sosial merupakan lapangan pertempuran baru global di era digital. Jaringan sistematis dan terorganisir bukan hanya milik kelompok seperti Seracen atau MCA, tapi juga negara.
Manipulasi informasi dilakukan tidak hanya untuk menjatuhkan pihak yang dianggap lawan atau sebaliknya memoles citra seseorang, tetapi juga menyangkut bisnis jutaan dolar AS.
Mengutip laporan Oxford Internet Institute (OII) yang berjudul ‘Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation’, selama tahun 2020, keberadaan pasukan siber semakin meningkat.
Pada 2019 diidentifikasi ada 70 negara yang memiliki pasukan siber. Pada 2020, jumlahnya meningkat menjadi 81 negara termasuk Indonesia yang memiliki pasukan siber.
Pasukan siber menjadi alat pertahanan baru, tidak mengenal bentuk rezim suatu negara, apakah demokrasi atau otoriter. Mereka bertugas memanipulasi informasi di media sosial.
“Kami menemukan bukti, 81 negara menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi tentang politik,” tulis laporan OII.
Laporan OII juga mencatat, tugas pasukan siber itu adalah menyusun strategi dan teknik propaganda di media sosial, memanipulasi suatu konten, mengambil data secara ilegal, hingga mengerahkan pasukan untuk menekan pihak tertentu, semisal aktivis dan pers.
Sementara itu, semakin banyak pemerintah dan politisi yang menggunakan media sosial untuk memengaruhi proses pemilu, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Meski tak sekeras Pilpres 2014, Pilpres 2019 pun sarat dengan sebaran hoaks. Medium yang paling banyak digunakan adalah media sosial. Facebook masih menjadi tempat favorit.
Studi yang dilakukan Dewi Sad Tanti dan MT Hidayat tentang ‘Ragam dan Pola Sebaran Hoaks Jelang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019’ mendapatkan, dari 1.467 konten hoaks yang diidentifikasi Kemenkominfo sepanjang Januari-April 2019, sebanyak 58% tersebar di Facebook. Sisanya beredar di Twitter 14%, WhatsApp (WA) 6%, YouTube 2%, dan sejumlah mediun lainnya yang tidak disebutkan.
Di tahun 2019, YouTube masih belum populer. Situasinya akan berbeda di periode pilpres 2024 yang akan kita bahas selanjutnya.
Di periode ini format hoaks paling populer adalah foto dengan caption sebanyak 48%, tulisan saja 15%, video dengan caption 1%, dan berbagai bentuk lainnya yang tidak disebutkan.
Meski sama-sama menyesatkan, namun sebaran hoaks pada pilpres 2014 dan 2019 memiliki tujuan berbeda.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, sebaran hoaks pada pilpres 2014 dan 2019 memiliki tujuan berbeda.
Tujuan hoaks pada pilpres 2014 adalah mengubah persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu, menyerang kandidat tertentu, dan fokusnya untuk saling menjatuhkan antarkandidat.
Hoaks 2014 mampu membuat polarisasi masyarakat yang berdampak pada Pemilu 2019.
Sedangkan, pada Pemilu 2019, hoaks yang beredar tujuannya adalah memelihara polarisasi yang ada karena kontestasi pilpres diikuti oleh kandidat yang sama, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Tren baru hoaks di pilpres 2019 adalah mengubah pikiran publik terhadap penyelenggara pemilu untuk mendegradasi keabsahan penyelenggaraan pemilu. Dampaknya, publik hilang kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu.
Hoaks Pilpres 2024
Dalam rilis yang disebarkan kepada media, Mafindo menemukan 2.330 hoaks sepanjang 2023, dengan hoaks politik sebanyak 1.992.
Jumlah hoaks politik dua kali lipat lebih banyak dibanding hoaks sejenis pada Pilpres 2019 yang jumlahnya 644.
“Persentase hoaks politik di 2023 sebanyak 55,5% yang ditemukan Mafindo, selain menjadi yang tertinggi, juga memposisikan hoaks politik kembali mendominasi topik hoaks pasca-2019,” kata Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho.
Kemenkominfo juga menemukan persebaran hoaks yang banyak sepanjang 1 Juli 2023 hingga 5 Februari 2024. Ada 2.907 konten hoaks yang ditemukan Kemenkominfo di media sosial. Dari jumlah itu, 1.730 telah diturunkan.
Menariknya dari Pilpres 2024 adalah medan pertempurannya. Jika pada pemilu 2014 dan 2019 Facebook adalah sarang hoaks, kali ini sarangnya adalah YouTube.
Menurut Mafindo, sebanyak 44,6% konten berita bohong politik tersebar di YouTube. Selanjutnya adalah Facebook 34,4%, TikTok 9,3%, X atau Twitter 8%, WhatsApp 1,5%, dan Instagram 1,4%.
Jika bentuk konten hoaks sebelumnya banyak berupa foto dan narasi, sekarang konten hoaks didominasi oleh video.
Seiring perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI), para produsen hoaks juga menggunakan teknologi deepfake dalam memproduksi hoaks.
Deepfake adalah rekayasa digital untuk menghasilkan gambar dan suara sedemikian rupa sehingga sangat mirip dengan aslinya.
Deepfake juga mampu menghasilkan gambar wajah orang yang tidak pernah ada sebelumnya. Contoh konten hoaks dengan teknologi deepfake adalah video Presiden Jokowi yang seolah-olah berpidato dalam bahasa Mandarin.
Contoh lainnya adalah rekaman suara yang mengesankan dialog antara capres Anies Baswedan dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang dibuat dengan AI.
Secara substansi, hoaks memang bukan barang baru. Kabar bohong yang disebarkan secara masif adalah salah satu strategi jahat yang digunakan manusia sejak dulu kala. Gayanya juga selalu mirip-mirip. Biasanya menyentuh sisi emosional publik sehingga mudah tersebar dengan luas. Yang terus berubah adalah teknologi dan medium penyebarannya. (*)
Tinggalkan Balasan