Frandy menyebut bahwa meskipun saat ini ada dinamika baru terkait pengelolaan izin tambang, yang menjadi fokus laporan mereka adalah aktivitas ilegal yang terjadi saat izin masih aktif di tangan klien mereka.
Menurutnya, tambang ilegal tersebut diduga kuat dijalankan oleh Herman Trisna bersama sejumlah pihak lainnya.
“Satu orang bernama Yos Meilano bahkan sudah berstatus tersangka. Tapi anehnya, sampai sekarang tidak ditahan. Sementara Herman Trisna, yang juga terlibat di dalamnya, tidak juga ditetapkan sebagai tersangka. Alasannya disebut karena sakit,” kata Frandy.
Pengacara juga mempertanyakan alasan lambannya proses hukum dan ketidakhadiran tindakan terhadap aktor-aktor lain yang diduga terlibat.

Ia menilai, keberadaan Roy Marten dan Dwi Yanuas yang berulang kali muncul di lokasi tambang, perlu ditelusuri lebih jauh keterkaitannya.
“Kenapa kita desak Roy Marten diperiksa? Karena beberapa kali dia muncul di pertambangan. Dugaan dari klien kami, Roy Marten dan Dwi Yanuas punya keterlibatan langsung dengan Herman Trisna dalam aktivitas tambang ilegal ini,” ungkap Frandy.
Pihaknya mendesak Mabes Polri untuk segera memanggil dan memeriksa Roy Marten dan Dwi Yanuas agar peran mereka bisa diklarifikasi secara hukum.
“Kami serahkan semua kepada Mabes Polri, tetapi kami juga punya hak untuk mendesak. Jangan sampai hukum hanya berlaku untuk yang lemah, sementara yang punya nama besar atau koneksi dibiarkan begitu saja,” tegasnya.
Lebih lanjut, Frandy juga meminta agar penyidik segera menindaklanjuti status tersangka Yos Meilano dan memastikan proses hukum terhadap semua pihak yang diduga terlibat, termasuk Herman Trisna, berjalan sesuai prosedur.
“Laporannya sudah berjalan sejak tahun 2023 lalu. Tapi sampai sekarang belum tuntas. Ini yang menjadi tanda tanya besar. Kami ingin keadilan ditegakkan secara terbuka, profesional, dan tidak tebang pilih,” tutupnya.
Mengutip pernyataan Frandy, dugaan tindak pidana penambangan ilegal yang terjadi masih berada dalam rentang waktu ketika kliennya tercatat sebagai pemegang saham mayoritas di PT. Bumi Borneo Inti.
Namun, faktanya, berdasarkan Akta Berita Acara Rapat Pemegang Saham PT Bumi Borneo Inti Nomor 07 tertanggal 5 Maret 2021, saat aktivitas ilegal tersebut berlangsung, Herman Trisna sudah tidak lagi memiliki hak atau kedudukan di perusahaan tersebut.
Kendati demikian, Herman Trisna diduga tetap aktif melakukan kegiatan penambangan secara ilegal, dibuktikan dengan adanya surat addendum tertanggal 5 Juli 2022 yang ditandatangani olehnya dalam kapasitas sebagai Direktur.
Surat tersebut memberikan perintah kerja kepada pihak ketiga untuk melakukan aktivitas pertambangan di wilayah IUP PT. Bumi Borneo Inti, padahal pada saat itu kepemilikan dan kepengurusan sah berada di bawah kendali kliennya bernama Daniel Candra.
Akibat tindakan tersebut, perusahaan terpaksa menghentikan seluruh aktivitas penambangan per 30 Juli 2022 dan selanjutnya melaporkan dugaan kegiatan ilegal ke Polda Jambi pada 26 Agustus 2022.
Menyusul kekisruhan yang ditimbulkan, Kementerian ESDM menonaktifkan akun MOMS PT. Bumi Borneo Inti melalui surat resmi Nomor: B-1353/MB.05/DBB.OP/2022 tertanggal 3 November 2022.
“Ini menegaskan dua hal: pertama, Herman Trisna tidak memiliki dasar hukum untuk menjalankan aktivitas atas nama perusahaan, dan kedua, secara regulasi perusahaan telah dibekukan aksesnya untuk menjalankan kegiatan operasional,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, dokumentasi yang berhasil mereka himpun menunjukkan keterlibatan dua figur publik, yaitu Roy Marten dan Dwi Yanuas Didi, yang tampak memasuki lokasi tambang dan melakukan kegiatan serta kunjungan ke beberapa instansi, termasuk TNI.
“Fakta ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa dasar kehadiran mereka di wilayah tambang PT. Bumi Borneo Inti? Apakah mereka turut terlibat atau hanya sekadar menjadi tamu?” kata Frandy.
Kecurigaan ini makin menguat pasca pernyataan Roy Marten di media massa yang seolah menuding kliennya terlibat dalam penambangan ilegal, padahal perkara yang sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Sengeti tidak berkaitan dengan aktivitas tambang.
“Keaktifan Roy Marten dalam menanggapi perkara ini patut didalami lebih lanjut, khususnya dalam konteks kemungkinan keterlibatan berdasarkan Pasal 55 KUHP, yang menyebutkan bahwa pihak yang menyuruh, membantu, atau turut serta melakukan tindak pidana dapat dikenai sanksi pidana,” ucapnya.
Parahnya lagi, sambung dia, aktivitas tambang ilegal tersebut diduga menyebabkan insiden kebakaran batu bara di tahun 2024 yang berdampak pada pencemaran udara dan korban dari masyarakat sekitar.
Batu bara yang terbakar sebelumnya telah disegel Mabes Polri dalam perkara yang sama, namun tetap berada di lokasi dan akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan.[]
Tinggalkan Balasan