Diketahui, tersangka BM selaku Direktur Utama PT ICR periode tahun 2008-2014, awalnya melakukan akuisisi PT TMI yang memiliki izin usaha pertambangan batu bara di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Setelah mendapat hasil laporan site visite, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual-kontraktor batubara, pada 10 November 2010. Kemudian, ditentukan harga pembelian sebesar Rp 92.500.000.000, padahal belum dilakukan due dilligence.

Kemudian, dilaksanakan MOU antara PT ICR, PT CTSP, PT TMI, PT RGSR dalam rangka akuisisi saham PT CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare, tanggal 19 November 2010, di Jakarta. Namun karena PT ICR tidak memiliki dana untuk akuisisi PT CTSP, selanjutnya meminta penambahan modal kepada PT Antam sebesar Rp 150.000.000.000.

Kemudian melalui keputusan direksi yang diduga dikoordinir oleh tersangka AL dan HW, tentang Persetujuan Atas Permohonan Penambahan Modal kepada PT ICR tanggal 04 Januari 2011, dengan dasar Nota Dinas SM Corporate Strategic Development Nomor 515.a/CS/831/2010 tanggal 31 Desember 2010, Direksi PT Antam menyetujui untuk memberikan penambahan modal disetor kepada PT ICR sebesar Rp 121.975.600.00 guna mengakuisisi 100% saham PT CTSP yang mempunyai aset batu bara di Sarolangun, Jambi.

Namun belakangan, dengan tidak dilakukannya kajian internal oleh PT Antam secara komprehensif, ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No.32 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT TMI (KW.97 KP.211210) tanggal 22 Desember 2010, diduga fiktif. Sebab pada kenyataannya lahan 201 Ha, izin usaha pertambangan masih eksplorasi.