Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Aneka Tambang (Antam) berinisial AL, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyimpangan dalam proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) Batubara, di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kejagung juga melakukan penahanan terhadap AL.

Selain AL, Kejagung juga menahan tiga tersangka lain yakni, Direktur Operasional PT Antam HW, mantan Direktur Utama PT Indonesia Coal Resources (ICR) BM, dan Komisaris PT Tamarona Mas Internasional (TMI) berinisial MH.

“Setelah selesai pemeriksaan, empat yang berstatus sebagai tersangka dalam perkara ini dilakukan penahanan di rumah tahanan negara untuk 20 hari ke depan, terhitung (tanggal) 2 sampai 21 Juni 2021,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Kejaksaan Agung, Rabu (2/6/2021).

Leonard mengatakan, tersangka AL, HW, dan MH ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung. Sedangkan, tersangka BM ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Sementara itu, dua orang tersangka lainnya Direktur PT ICR berinisial AT dan Direktur PT Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) berinisial MT belum dilakukan penahanan. Keduanya beralasan sakit sehingga tidak memenuhi panggilan Kejagung.

“Seyogyanya turut diperiksa pada hari ini, namun karena berhalangan hadir dengan alasan sakit. Pemeriksaan kepada yang bersangkutan akan dilanjutkan pada Minggu depan,” ungkapnya.

Diketahui, tersangka BM selaku Direktur Utama PT ICR periode tahun 2008-2014, awalnya melakukan akuisisi PT TMI yang memiliki izin usaha pertambangan batu bara di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Setelah mendapat hasil laporan site visite, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual-kontraktor batubara, pada 10 November 2010. Kemudian, ditentukan harga pembelian sebesar Rp 92.500.000.000, padahal belum dilakukan due dilligence.

Kemudian, dilaksanakan MOU antara PT ICR, PT CTSP, PT TMI, PT RGSR dalam rangka akuisisi saham PT CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare, tanggal 19 November 2010, di Jakarta. Namun karena PT ICR tidak memiliki dana untuk akuisisi PT CTSP, selanjutnya meminta penambahan modal kepada PT Antam sebesar Rp 150.000.000.000.

Kemudian melalui keputusan direksi yang diduga dikoordinir oleh tersangka AL dan HW, tentang Persetujuan Atas Permohonan Penambahan Modal kepada PT ICR tanggal 04 Januari 2011, dengan dasar Nota Dinas SM Corporate Strategic Development Nomor 515.a/CS/831/2010 tanggal 31 Desember 2010, Direksi PT Antam menyetujui untuk memberikan penambahan modal disetor kepada PT ICR sebesar Rp 121.975.600.00 guna mengakuisisi 100% saham PT CTSP yang mempunyai aset batu bara di Sarolangun, Jambi.

Namun belakangan, dengan tidak dilakukannya kajian internal oleh PT Antam secara komprehensif, ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No.32 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT TMI (KW.97 KP.211210) tanggal 22 Desember 2010, diduga fiktif. Sebab pada kenyataannya lahan 201 Ha, izin usaha pertambangan masih eksplorasi.

Kejagung menduga tersangka BM dan tersangka ATY tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batu bara yang menjadi objek akuisisi. Bahkan setelah dilakukan perjanjian jual beli saham pada tanggal 12 Januari 2011, tersangka MH mendapat pembayaran sebesar Rp 35.000.000.000 dan tersangka MT mendapatkan pembayaran Rp 56.500.000.000.

Perbuatan tersangka BM dengan ATY, HW, MH, dan MT tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 92.500.000.000, sebagaimana hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Pupung Heru.

Para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.