Wamen ATR/Waka BPN, Surya Tjandra

Medan – Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra, bersama Kepala Kanwil BPN Provinsi Sumatra Utara, Dadang Suhendi, menghadiri Seminar Agraria dengan tema “Penyelesaian Konflik Agraria di Provinsi Sumatera Utara”, di Universitas Sumatra Utara, Medan, Kamis (21/10/2021).

Dalam kesempatan ini, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN menjadi pembicara kunci dengan tema “Posisi Penanganan Konflik Agraria di Sumatra Utara dalam Sektor Perkebunan”.

Wamen ATR/Waka BPN mengatakan, dalam penyelesaian konflik agraria dibutuhkan hati oleh para pelaksana karena menurutnya, hal ini bukan semata-mata pekerjaan pokok yang dikerjakan secara rutin, tapi merupakan kebijakan politik yang diharapkan akan menjadi kebijakan hukum.

“Kalau terkait politik, saya kira Presiden sudah jelas, melalui Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai eksekutor dari kebijakan politik Presiden, telah melakukan orkestrasi dalam penyelesaian konflik agraria,” ucapnya.

Surya Tjandra melanjutkan, bukan hanya butuh hati, tetapi dibutuhkan kombinasi antara hati para pelaksana, kemudian hukum dan political will menjadi penting.

Dalam kesempatan ini, ia mengajak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut andil mendalami kasus yang terjadi karena harus ada keterbukaan dan kejujuran dari kedua belah pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat. “Keterbukaan dan kejujuran menjadi penting kalau memang mau membereskan persoalan konflik agraria ini,” ujarnya.

Berkaca dari penanganan konflik agraria di Sumatra Utara, tepatnya di Simalingkar dan Sei Mencirim, Wamen ATR/Waka BPN mengungkapkan beberapa pembelajaran yang didapat. Pertama, kemampuan masyarakat untuk mengartikulasikan kebutuhan menjadi sangat krusial bagi pemerintah untuk memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan.

“Bagi saya pribadi, kehadiran Civil Society Organization (CSO) yang memberikan data dan mengadvokasi itu penting. Buktinya ketika ada momentum Presiden membuka diri, langsung kita bergerak membereskan 137 konflik pertanahan, baik yang APL maupun dalam kawasan hutan. Jadi, memang hati hukum politik harus digabung dalam upaya penyelesaian masalah seperti ini,” ungkap Surya Tjandra.

Pembelajaran kedua ialah adanya ruang untuk berdialog dengan intermediaries. Ini pun menjadi penting untuk memperoleh solusi yang sebisa mungkin disepakati oleh para pihak.

“Kalau saya lihat, paling tidak dalam dua kasus tadi itu memberikan kita ruang bernegosiasi, sampai di mana kita bisa berkompromi. Melihat di satu sisi secara legal, yuridis ini milik PTPN, tetapi masyarakat minta dikeluarkan dan PTPN tidak bisa mengeluarkan begitu aja karena ini aset BUMN. Namun, kita lihat bagaimana kita memberikan ruang dan jalan tengah. Dalam poin itulah peran intermediaries menjadi sangat penting,” jelas Wamen ATR/Waka BPN.

Lebih lanjut, pembelajaran yang bisa diambil dari penyelesaian sengketa di Simalingkar dan Sei Mencirim ialah pemerintah dan kementerian/lembaga, perlu mengambil waktu dan perhatian khusus untuk memahami dan mencari solusinya bersama-sama.

“Itu yang dikerjakan KSP dan berbagai kementerian/lembaga saat ini. Jadi saya kira, ruang itu atas perintah Presiden langsung. KSP sebagai koordinator, kita ini pendukung. Itu tidak pernah kejadian, cuma di zaman Presiden Jokowi ini,” tutur Surya Tjandra.

Terakhir sebagai pembelajaran Wamen ATR/Waka BPN menyatakan, seharusnya dalam penyelesaian konflik pertanahan bisa diselesaikan pada tingkat kementerian, tidak sampai Presiden RI.

“Nah, ini dengan catatan seluruh kementerian terkait, mematuhi kaidah pemanfaatan dan pemilikan lahan, serta menyusun kebijakan yang mendukung penyelesaian konflik,” pungkasnya.

Hadir sebagai narasumber dalam seminar yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan Universitas Sumatra Utara, yaitu Syska Naomi Hutagalung selaku Tenaga Ahli Madya Kedeputian II KSP, Apri Dwi Sumarah selaku Kepala Balai
Perhutanan Sosial dan Kemitraan (BPSKL), Henry Saragih selaku Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI), dan hadir secara daring Abdon Nababan selaku Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di regional Sumatra. Sebagai moderator, Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik.