Foto: Soeharto dan Omar Dhani.

ERANASIONAL.COM- Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani merupakan salah satu orang yang disebut sebagai pelaku utama G30S PKI atau Gerakan 30 September PKI (Gestok).

Daned-sapaan akrabnnya membeberkan keterlibatan CIA atau badan intelijen Amerika Serikat dalam G30S PKI atau Gestok.

Dia menjelaskan, pada pukul 16.00, 30 September 1965, laporan pertama masuk dari Asisten Direktur Intel AURI Letkol Heru Atmodjo, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput Jenderal AD untuk dihadapkan kepada Soekarno.

Mengutip dataTempo “Itu reaksi dari para perwira muda AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek kebenarannya. Kemudian pukul 20.00 malam dia datang lagi,” katanya ketika diwawancarai 25 Januari 2021 silam.

Dia mengaku bertanya kepada Letkol Heru, jam berapa operasi akan dilaksanakan. Heru menjawab, operasi bisa terjadi pada pukul 23.00, 01.00 atau 04.00.

“Kami heran, sudah lebih dari 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan waktunya. Kemudian ada yang menanyakan daftar yang akan diculik, disebutkan Ahmad Yani, Nasution, D.I. Panjaitan dan seterusnya,” jelasnya.

Menurutnya, jika orang ingin melakukan pemberontakan, hendaknya yang menjadi sasaran penculikan adalah jenderal yang memegang komando seperti Yani (Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RKPAD), Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya).

“La, Nasution kan nggak pegang komando. Saya pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A.Yani dalam satu paket sasaran, padahal keduanya bertentangan terus,” tambahnya.

Sekitar pukul 07.00 pada 1 Oktober 1965 kata dia, tiba-tiba ada siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G30S. Soekarno dijaga pasukan yang tidak ketahui saat itu mau pulang ke Istana juga tak bisa.

Penulis buku ”Tuhan, Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku” ini mengaku mengeluarkan statement mendukung gerakan yang antirevolusioner itu atas saran Heru Atmodjo.

“Semalam sebelumnya, intel AURI melaporkan bahwa malam itu ada gerakan dari perwira-perwira muda AD terhadap atasannya yang didukung semua bawahan dan sipil dari empat angkatan. Lo, untuk apa? Ternyata akan menculik jenderal-jenderal,” bebernya.

Lelaki kelahiran Solo 1924 ini mengaku, Soeharto menolak menghadap ke Soekarno pada tanggal 1-4 Oktober 1965.

“Kalau Harto dipanggil nggak datang itu bukan keanehan lagi. Itu artinya menentang atasan, apalagi atas perintah Panglima Tertinggi (Pangti). Ini artinya subordinasi. Kalau dipanggil Panti harus datang, apapun situasinya. Jawaban Harto pada saat itu karena AD sudah kehilangan banyak Jenderal, Kadi dia nggak mau mengambil risiko lagi. Tetapi saya pikir tetap nggak boleh. Kalau A. Yani meninggal, katanya dia terus hendak mengambil alih Panglima AD juga, padahal tidak bisa dilakukan begitu saja,” jelasnya.

Ketika ditanya terkait keterlibatan Soeharto, dia mengatakan, Omar Dani menyebut Soeharto dan Nasution lah yang mengorbankan para jenderal.

“Dua orang. Seoharto dan Nasution. Itu sudah ada rekayasa. Kok tahu-tahu muncul istilah G30S PKI. Sejak kapan? Kok PKI terus disangkut pautkan? Buktinya apa?,” tandasnya.

Dia menegaskan, Heru Atmodjo tidak pernah menandatangani pernyataan Dewan Revolusi.

“Ketika Letkol Untung jadi saksi dalam persidangan Soepardjo, hakim menanyakan siapa yang memimpin G30S, Untung langsung menyahut: saya. Keanehan lain soal pengumuman Dewan Revolusi 1 Oktober, bahwa pangkat di atas letnan kolonel harus dicopot menjadi letkol. Brigjen Soepardjo, waktu 1 Oktober 1965, pergi ke Halim menghadap BK (Bung Karno), memakai pangkat Brigjen,” ucapnya.

Lebih jauh dia menyebut, dugaan keterlibatan badan intelijen Amerika Serikat dan Soeharto hanya diperalat.

“G30S itu suatu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya CIA itu sangat terlibat dan Harto adalah tangan yang dipakai,” sebutnya.

Pasalnya kata Omar Dani, saat itu tidak ada jenderal di Indonesia yang bisa membuat suatu operasi intelijen yang begitu canggih seperti G30S.

“Yani itu termasuk yang dikorbankan , seperti para jenderal itu,” pungkasnya.