JAKARTA, Eranasional.com- Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Prastowo Yustinus mengatakan, inflasi tinggi, pengetatan moneter, perang Rusia dengan Ukraina, serta pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menimbulkan gejolak bagi pertumbuhan perekonomian global.
Dijelaskan, IMF memproyeksi pertumbuhan global melambat dari 6,0% di 2021 ke 3,2% untuk 2022 (tetap seperti proyeksi Juli) dan 2,7% untuk 2023.
“Jika terjadi, ini akan menjadi pertumbuhan terlemah sejak 2001, di luar krisis keuangan global dan pandemi Covid-19,” jelasnya, Rabu, (12/10/2022).
Pria kelahiran Gunungkidul Yogyakarta ini menyebut risiko resesi meningkat. Diprediksi 43% negara di dunia (kontribusi lebih dari 1/3 PDB dunia) akan mengalami resesi teknikal (pertumbuhan negatif dua kuartal berturut-turut) 2022-2023.
Penurunan proyeksi terjadi secara luas baik di negara maju maupun berkembang.
Fenomena ini kata dia, sekaligus mencerminkan perlambatan yang signifikan pada negara maju seperti AS dengan kontraksi PDB pada paruh pertama 2022, Eropa dengan kontraksi pada paruh kedua 2022 dan China dengan krisis sektor properti akibat kebijakan lockdown berkepanjangan.
Inflasi global diperkirakan akan meningkat dari 4,7% pada tahun 2021 menjadi 8,8% pada tahun 2022, tetapi menurun menjadi 6,5% pada tahun 2023 dan 4,1% persen pada tahun 2024.
Proyeksi pertumbuhan 2022-2023 di enam negara yang terancam resesi diantaranya, Amerika Serikat 1,6% (turun 0,7pp) & 1,0% (tetap).
Eropa 3,1% (naik 0,5pp) & 0,5% (turun 0,7pp), Inggris 3,6% (naik 0,4pp) & 0,3% (turun 0,2pp), Cina 3,2% (turun 0,1pp) & 4,4% (turun 0,2pp), India 6,8% (turun 0,6pp) & 6,1% (tetap) dan Indonesia 5,3% (tetap) & 5,0% (turun 0,2pp).
Sebagai perbandingan, outlook terkini pertumbuhan Indonesia tahun 2022 & 2023 dari World Bank adalah 5,1% & 5,1%; ADB 5,4% & 5,0%; dan Bloomberg Forecast 5,2% & 5,0%. Semua lembaga itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 positif.
Dengan gejolak yang ada, Indonesia diproyeksikan tumbuh 5,0% pada 2023, lebih kuat dari Tiongkok (4,4%), Malaysia (4,4%), Thailand (3,7%), Singapura (2,2%), Australia (1,9%), Jepang (1,6%), AS (1,0%), UK (0,3%), Italia (-0,2%), Jerman (-0,3%) dan Rusia (-2,3%).
“Namun kita harus tetap waspada karena meningkatnya downside risk: miskalkulasi kebijakan moneter, apresiasi dolar AS, tekanan inflasi yang lebih lama, tekanan utang di negara berkembang yang rentan, krisis energi Eropa, krisis sektor properti Tiongkok & fragmentasi internasional,” jelas Prastowo
Dalam jangka pendek kata alumni STAN ini, dapat dilakukan pengendalian inflasi sesuai kondisi negara, komunikasi kebijakan jelas, sinkronisasi dengan kebijakan fiskal bantuan targeted & temporer untuk kelompok rentan, serta menangkal risiko pandemi yang belum usai a.l. dgn pemerataan vaksin.
“Sehingga tepat apabila APBN 2023 mengusung semangat Optimis dan Waspada. APBN akan terus diharapkan menjadi instrumen penjaga perekonomian (shock absorber), saat di periode yang sama harus diuji dengan gejolak ekonomi yang tidak mudah dan belum mereda. Semoga,” tandas mantan Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara ini.
Tinggalkan Balasan