JAKARTA, Eranasional.com – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja memaparkan 8 ketentuan upah dari sisi pengusaha dan buruh.
Ketentuan tentang pengupahan dalam Perppu Cipta Kerja turut mengubah sejumlah pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan terkait pengupahan yang berubah dalam UU No, 13/2003 itu adalah pemerintah menyisipkan Pasal 88A. Dalam pasal tersebut terdapat 8 ayat yang ditambahkan terkait pengupahan.
“Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusanya Hubungan Kerja,” demikian isi Pasal 88A ayat (1) UU No. 13/2003 yang sudah diubah melalui Perppu Cipta Kerja.
Sedangkan dalam Ayat (2) disebutkan, “Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.” Lalu, Ayat (3) berbunyi, “Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan kesepakatan.” “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,” bunyi isi Pasal 88A ayat (4).
Pasal 88A Ayat (5) menyatakan, “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kemudian pada Ayat (6) disebutkan, “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran Upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari Upah Pekerja/Buruh.”
“Pekerja/Buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda,” demikian isi Pasal 88A ayat (7).
Lantas Pasal 88A Ayat (8) menyebutkan, “Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada Pengusaha dan/atau Pekerja/Buruh dalam pembayaran Upah.”
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja, Jumat (30/12/2022), menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.
“Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” tegas Viktor.
Dia menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik.
Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
“Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen,” papar Viktor.
“Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu,” tuturnya.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK.
Kata dia, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut.
Oleh sebab itu, pemerintah menilai, perlu ada kepastian hukum dari UU tersebut karena pemerintah mengatur bahwa defisit anggaran tahun depan sudah tidak boleh lebih dari 3% dan menargetkan investasi sebesar Rp1.400 trilun.
Menurut Airlangga, Perppu Cipta Kerja juga mendesak dikeluarkan karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
“Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi,” jelas Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Airlangga menyebutkan Indonesia saat ini menghadapi potensi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Selain itu, jumlah negara yang bergantung ke Dana Moneter Internasional (IMF) pun disebut semakin bertambah. “Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraina-Rusia dan konflik lain juga belum selesai,” ujar Airlangga.
MK sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu. MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
MK juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik. Oleh karena itu, MK menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan