(Foto: dari kiri) Hamdan Zoelva, Maruarar Siahaan dan Jimly Asshiddiqie.

JAKARTA, Eranasional.com –  Sejumlah mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) satu suara menentang tindakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Mereka menilai langkah Jokowi ini menjadi preseden buruk hingga melanggar prinsip negara hukum.

Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.

Bukannya memperbaiki UU, Jokowi malah menerbitkan Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut Perpu ini alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi, sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009.

Jimly Asshiddiqie

Ketua MK pertama periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, menyebut tidak lanjut putusan MK sebetulnya tidak sulit untuk dikerjakan dalam 2 tahun. Saat ini masih ada waktu 7 bulan sebelum tenggat waktu November 2023.

Pemerintah, kata dia, tinggal menyusun UU baru dalam waktu 7 bulan dan memperbaiki substansi yang dipersoalkan masyarakat. Sekaligus, membuka ruang partisipasi publik yang berarti dan substansial sesuai amar putusan.

“Tidak perlu membangun argumen adanya kegentingan memaksa yang dibuat-buat dengan menerbitkan Perpu dalam kegemerlapan malam tahun baru yang membuat kaget semua orang,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta ini dalam dalam keterangan tertulis, Rabu, 4 Januari 2022.

Jimly mengingatkan bahwa pembentuk Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah DPR, bukanlah presiden seperti era sebelum reformasi. Apalagi, sudah ada putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU.

“Bukan dengan Perpu, tapi dengan UU dan dengan proses pembentukan yang diperbaiki sesuai putusan MK,” kata Jimly. “Perpu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel.”

Jimly juga menyebut peran MK dan DPR telah diabaikan dengan penerbitan Perpu ini. Selain itu, Perpu ini bukanlah contoh rule of law yang baik, tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong.

Jimly lalu menyinggung opsi sistem pemilu proporsional tertutup yang sekarang berkembang, di mana 8 fraksi DPR menolak kecuali PDI Perjuangan. Jimly pun menyampaikan kemungkinan bila sikap partai di DPR dapat dibangun pada Perpu Cipta Kerja, seperti halnya pada opsi proporsional tertutup.

“Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” kata dia.

Kalau mayoritas anggota DPR siap, kata Jimly, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment tersebut.

Di sisi lain, Jimly juga bicara soal kemungkinan Perpu Cipta Kerja tersebut memang sengaja terbit untuk menjerumuskan Jokowi untuk diberhentikan di tengah jalan. Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perpu Cipta Kerja ini, kata Jimly, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perpu Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

“Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya,” kata Jimly. Oleh sebab itu, ia menyarakan semua pihak kembali setia dan tidak mengkhianati norma tertinggi yang sudah disepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Hamdan Zoelva

Ketua MK keempat periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, ikut mengkritik Perpu Cipta Kerja, salah satu yang dikritik yaitu soal alasan kegentingan memaksa yang dipakai Jokowi. Hamdan menyebut Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009 sebenarnya telah memberikan batasan yang jelas bagi seorang presiden untuk bisa menerbitkan Perpu.

Tapi pada akhirnya, Hamdan mengakui tetap ada ruang untuk Jokowi sebagai kepala negara untuk menafsirkan kegentingan yang memaksa sesuai batasan di Putusan MK tersebut. “Iya, pada akhirnya demikian,” kata Hamdan kepada Tempo, Sabtu, 31 Desember 2022.

Dalam Putusan MK Nomor 138, Perpu diperlukan ketika sudah memenuhi tiga parameter:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama

sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Hamdan menyebut saat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, yang dikabulkan oleh majelis hakim adalah pengujian formil yaitu proses pembentukan UU. Sehingga seharusnya, kata dia, yang diperbaiki adalah proses pembentukan UU tersebut.

Jokowi malah memilih Perpu Cipta Kerja yang dianggap Hamdan, tidak ada kegentingan memaksa untuk menerbitkannya. Waktu dua tahun yang diberikan MK, kata dia, seharusnya cukup bagi pemerintah untuk menyelesaikan perbaikan proses pembentukan UU.

“Perpu ini menjadi preseden buruk bagi praktik ketatanegaraan kita,” kata Hamdan. Karena nanti presiden setiap saat bisa mengeluarkan Perpu dalam merespon putusan MK. Apalagi, kata dia, Perpu yang memulihkan status inkonstitusional dari suatu UU yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK.

Hamdan memahami bahwa ada ancaman krisis ekonomi yang jadi alasan Jokowi. Ia pun menilai ancaman dan kepastian hukum tidak bisa dipertentangkan, karena mengatasi krisis pastilah alasannya untuk kepentingan umum.

“Masalahnya seharusnya jalan memperbaiki proses pembentukan UU dengan jalan biasa bisa dilakukan, sehingga tidak perlu Perpu dan tidak mengorbankan kepentingan umum dan penegakkan konstitusi dan penghormatan atas putusan pengadilan,” ujarnya.

Meski demikian, Hamdan menilai juga tidak perlu juga memperketat penerbitan Perpu untuk ke depannya. “Dalam putusan MK jelas sekali pembatasan dikeluarkannya Perpu, tidak harus dengan membuat UU tentang Perpu,” ujarnya.

Maruarar Siahaan

Terakhir yaitu mantan hakim MK periode 2003-2008, Maruarar Siahaan. ia menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 soal Cipta Kerja adakah putusan yang menjawab permohonan uji formil.

“Berkenaan dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang yang kurang memberi kesempatan menampung aspirasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam pembentukan undang-undang,” kata dia kepada Tempo.

Sehingga, kata dia, jawaban pembuat UU sesungguhnya adalah memperbaiki UU tersebut dengan menampung aspirasi masyarakat untuk diadopsi dala UU Cipta Kerja. Tapi Jokowi memilih langsung menerbitkan Perpu.

Bagi Maruarar, pembentukan Perpu boleh jadi dapat dianggap memenuhi syarat kegentingan memaksa yang disebut Pasal 22 UUD 1945. Tetapi hal ini problematis, karena Perpu ini tidak menjawab persoalan uji formil yang dikabulkan MK.

Maruarar mengakui ada keterbatasan waktu bagi Jokowi, yang hanya berkuasa sampai 2024, untuk menjalankan putusan MK soal uji formil. Upaya ini membutuhkan waktu dari menampung aspirasi, menyusun naskah akademik, dan draf UU perubahan, yang semuanya pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Tapi di sisi lain, pemerintah dan anggota DPR terlibat dalam proses Pemilu Serentak 2024 yang panjang. Sehingga, Maruarar menyebut fokus perhatian pun akan terbagi. “Tidak dapat diharapkan akan fokus pada persoalan perbaikan UU Cipta Kerja lagi dari segi perbaikan prosedur dan tata cara pebentukan UU,” kata dia.

Tetapi harus diakui, kata Maruarar, respons implementasi dengan Perpu ini agak riskan karena menimbulkan efek samping yang harus diperhitungkan.

“Yaitu titik berat kepatuhan terhadap konstitusi sebagai suatu negara hukum, yang seyogianya jadi pedoman dalam implementasi putusan MK sebagai suatu mekanisme checks and balances,” ujarnya.