Aksi demonstrasi buruh menolak Perppu Cipta Kerja. (Foto: ISTIMEWA)

JAKARTA, Eranasional.com – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja terus digoyang. Terbaru, 13 organisasi buruh melayangkan gugatan. Gugatan tersebut dipicu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan kepada pemerintah dan DPR merevisi UU Ciptakerja, bukan mencabut.

Berdasarkan gugatan yang dilansir website MK, Minggu (29/1/2023), 13 organisasi buruh bersatu yang menggugat Perppu Cipta Kerja yaitu:

1. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional

2. Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan KSPSI

3. Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI

4. Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin – SPSI

5. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI

6. Federasi Serikat Pekerja Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat

7. Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan

8. Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia

9. Gabungan Serikat Buruh Indonesia

10. Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia

11. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

12. Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia

13. Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92

“Menyatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah, dihapus, dan/atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja berlaku kembali,” demikian permohonan 13 organisasi buruh itu.

Berdasarkan Putusan MK 91/2020, MK jelas mengarahkan pembuatan Undang-undang, bukan Perppu. Jika pun akan diubah dengan Perppu, maka semestinya harus terdapat dasar kegentingan yang memaksa yang sangat tidak terbantahkan, bukan hanya perkiraan atau dugaan.

“Tanpa adanya kegentingan yang tidak terbantahkan, Perppu Cipta Kerja akan menjadi pelanggaran serius atas Putusan MK 91/2020. Meminjam konsep adanya pelecehan parlemen (contempt of parliament), maka tindakan pembuatan Perppu Cipta Kerja tersebut yang tidak menghormati Putusan MK 91/2020 adalah pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi (contempt of constitutional court),” tegas pemohon.

Menurut pemohon, Presiden tidak menghormati putusan yang meminta UU Cipta Kerja, dan bukan membuat Perppu.

“Hal tersebut adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat tidak dihormati. Jika dibiarkan, maka preseden buruk tersebut akan dapat terulang kembali, yakni dengan menggenting-gentingkan situasi negara, tanpa maksud untuk menyelamatkan bangsa dan negara, seorang Presiden dapat menerbitkan Perppu yang akan menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi,” jelas pemohon.

Lebih berbahaya lagi, kata pemohon, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi. “Mengingat Mahkamah Konstitusi adalah constitution organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi ‘pengkhianatan terhadap negara’ yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment),” ucap pemohon.

Pemohon menampik dalil Presiden bila Indonesia sedang genting dan butuh Perppu. Pemohon mengutip pernyataan mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Muhammad Chatib Basri yang mengatakan Indonesia tidak akan terkena dampak yang signifikan akibat resesi ekonomi global yang diperkirakan terjadi pada tahun 2023.

Chatib Basri mengemukakan, analisa bahwa kondisi Indonesia yang tidak begitu interdependensi dengan negara-negara lain yang dapat menjadi faktor penyelamat dari dampak resesi global.

Negara yang sangat bergantung pada ekonomi global akan menerima dampak paling besar ketika terjadi guncangan ekonomi seperti saat ini muncul. Oleh karena itu, ia mencontohkan negara seperti Singapura akan mengalami dampak resesi ekonomi paling besar pada 2023.

“Oleh karena itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja senyatanya adalah bentuk lari dari tanggung jawab karena tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) melaksanakan Putusan MK 91/2020,” tegas pemohon lagi.

Permohonan ini sudah didaftarkan di MK dan sedang diproses di kepaniteraan.