Richard Eliezer (Bharada E) divonis 1,6 tahun oleh Majelis Hakim PN Jaksel dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.

JAKARTA, Eranasional.com – Richard Eliezer (Bharada E) divonis 1,6 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Vonis tersebut membuat iri terdakwa lainnya, Ricky Rizal Wibowo (Bripka RR) dan Kuat Ma’ruf.

Pengacara Bripka RR, Erman Umar, merasa putusan terhadap kliennya sangatlah lucu. Dia mengatakan, Bripka RR tidak mengajukan justice collaborator karena sudah membuka fakta terkait kasus ini. Dia menyebut kliennya juga bukan pelaku yang menembak Yosua.

“Terus ngapain lagi dia (Bripka RR) mengajukan justice collaborator, sedangka dia juga bukan pelaku, tidak menembak. Dia memang diperintahkan Ferdy Sambo menembak Yosua, tapi dia menolak. Ini kan sangat lucu,” kata Erman.

Sementara itu, lanjut Erman, Richard Eliezer mengajukan justice collaborator karena yang menembak Yosua. Akan tetapi, sangat lucu bila hal yang meringankan vonis terhadap Richard Eliezer itu karena status justice collaborator.

“Jadi sangat lucu, kalau justice collaborator akan diringankan, ini masalahnya berbeda antara Eliezer. Bripka RR jelas menolak perintah menembak, tidak pernah melakukan sesuatu,” ujarnya.

Dia pun membandingkan vonis terhadap Richard Eliezer dengan Bripka RR yang selisihnya terlalu jauh. Erman mengatakan, Richard Eliezer membuka kasus ini tidak serta-merta berdiri sendiri.

“Vonis terhadap Richard Eliezer sangat tidak adil. Kita akan berjuang di Pengadilan Tinggi (PT) DKI) Jakarta, kasasi, dan kita berharap akan ada perubahan,” ucap Erman.

Richard Eliezer (Bharada E) divonis 1,6 tahun oleh Majelis Hakim PN Jaksel dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.

Kuat Ma’ruf Menilai Putusan Hakim Tidak Adil

Protes juga dilakukan terdakwa lainnya, Kuat Ma’ruf. Melalui pengacaranya, Irwan Irawan, Kuat Ma’ruf mengatakan sejatinya dia menghormati putusan hakim tersebut. Akan tetapi, dia menilai putusan terhadap Richard Eliezer tidak adil.

“Putusan hakim harus kita hormati walaupun kami merasa ada ketidakadilan,” kata Irwan, Kamis (16/2).

Irwan membandingkan vonis terhadap Richard Eliezer dengan vonis kliennya yang jauh lebih berat. Padahal, kata Irwan, Kuat Ma’ruf tidak berperan aktif dalam hilangnya Yosua, sementara Richard Eliezer adalah pelaku yang menembak Yosua hingga tewas.

“KM (Kuat Ma’ruf), supir dan asisten rumah tangga yang tidak berperan aktif pada peristiwa hilangnya nyawa harus dipidana 15 tahun, sementara Richard Eliezer, polisi, yang terbukti melakukan penembakan yang menyebabkan kematian Yosua hanya dihukum 1 tahun 6 bulan,” tukasnya.

Kejaksaan Agung Tidak Banding

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menyatakan tidak mengajukan banding terhadap vonis 1 tahun 6 bulan penjara untuk Richard Eliezer. Dia menjelaskan alasan tidak mengajukan banding itu.

“Kami mewakili korban, negara, dan masyarakat melihat perkembangan seperti itu, salah satu pertimbangannya adalah untuk tidak melakukan upaya hukum banding dalam perkara ini,” kata Fadil dalam jumpa pers, Kamis (16/2).

Alasan lainnya yaitu menilai keluarga korban telah ikhlas menerima putusan tersebut.

“Apakah banding atau tidak, kami melihat pihak keluarga korban, ibu Yosua, bapak Yosua, dan kerabatnya dari mulai proses persidangan sampai akhir putusan Eliezer Pudihang Lumiu, sikap yang memaafkan berdasarkan keikhlasan,” terangnya.

Richard Eliezer (Bharada E) divonis 1,6 tahun oleh Majelis Hakim PN Jaksel dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.

Fadil mengatakan jaksa melihat ekspresi haru dan ikhlas menerima dari pihak korban orang tua Yosua setelah pembacaan vonis tersebut. Dengan demikian, jaksa sebagai pihak yang mewakili korban menyatakan tidak mengajukan banding.

“Dalam hukum mana pun, hukum nasional kita maupun hukum agama, termasuk hukum adat, kata maaf itu adalah yang tertinggi dari putusan hukum, berarti ada keikhlasan dari orang tuanya, dan itu terlihat dari ekspresi menangis bersyukur diputus hakim seperti itu,” tuturnya.

“Jaksa sebagai representasi daripada korban, kami mewakili korban dan negara, dan masyarakat, melihat perkembangan seperti itu. Kami salah satu pertimbangannya adalah untuk tidak melakukan upaya hukum banding,” pungkas Fadil.