Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, pada 19 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden RI saat itu, Soeharto, mundur dari jabatannya. (Foto: ISTIMEWA)

JAKARTA, Eranasional.com – Jelang 25 tahun reformasi Bulan Mei mendatang, keresahan melanda sejumlah aktivis 98 yang sudah berdiaspora di berbagai sektor profesi. Masih maraknya praktik korupsi kolusi dan nepotisme, menjadi salah satu alasan mereka berefleksi dalam diskui bertajuk “Bacapres dalam Pusaran KKN”. Kegiatan ini merupakan rangkaian Konsolidasi Demokrasi Aktivis 98 (KDA98).

Salah satu tagline yang disimpulkan dalam diskusi yang digelar di markas Jokowi Mania (JoMan) di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/02/2003), adalah soal reformasi gagal karena KKN masih marak.

Menariknya dalam diskusi ini adalah para aktivis yang kini aktif mendukung bakal calon presiden (bacapres), yakni  Sukma Widyanti aktivis KBUI yang kini mendukung Anies Baswedan, Dadi Palgunadi Aktifis Front Jakarta kini aktif di Gema Puan Maharani Nusantara (GMNP), dan Teguh Eko Prastyono aktivis dari kampus ISTN yang mendirikan Ganjar Pranowo untuk Rakyat (GUNTUR).

Sedangkan moderator dalam diskusi ini adalah Febby Lintang aktivis 98 dari kampu IISIP Jakarta. Para pendukung bacapres tersebut sepakat kalau praktik KKN masih marak, bahkan mungkin makin merajalela.

Menurut Dadi, salah satu sebab maraknya KKN adalah mahalnya biaya politik.

“Ini akibat dari sistem elektoral yang masih berciri popularisme. Sehingga untuk mengejar popularitas para calon harus merogoh kocek yang dalam,” ujar Dadi.

Dia juga menuding Lembaga survey sebagai salah satu pemicu politik mahal ini.

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, pada 19 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden RI saat itu, Soeharto, mundur dari jabatannya. (Foto: ISTIMEWA)

Sementara, menyikapi adanya sinyal KKN di pusaran bacapres, Teguh Eko Prastyono meminta agar publik berpegang pada fakta hukum dan praduga tak bersalah.

“Kalau Pak Ganjar disebut terlibat korupsi e-KTP, buktikan dong di pengadilan. Kan sudah dijelaskan oleh KPK dan Novel Baswedan kalau dia (Ganjar) tidak menerima apa-apa,” ucap pria yang akrab disapa dengan panggilan Gus Tep ini.

Hal serupa juga disampikan oleh Sukma, terkait tudingan Anies terlibat dugaan korupsi Formula E.  Sukma yang pernah aktif di Dewan Riset Daerah (DRD) DKI Jakarta saat Anies menjadi Gubernur ini justru menyebut Anies telah membuat kebijakan pencegahan korupsi sejak dirinya menjadi Rektor Paramadina hingga penerapan good governance di Pemprov DKI Jakarta. Karenanya upaya untuk menyeretnya dalam kasus Formula E terkesan sangat dipaksakan.

Tantangan kepada para pendukung bacapres ini justru datang dari salah satu peserta diskusi Nico Adrian aktivis 98 dari kampus UKI. Dia menekankan, apakah aktivis 98 yang menjadi pendukung bacapres ini mampu menjadi faktior determinan atau sekedar remah-remah saja.

“Kita pakai saja IKN (Ibu Kota Nusantara) sebagai batu pijakan, apakah dari kalian (pendukung bacapres) berani memberi masukan untuk menolak pembangunan IKN.  Setidaknya memberikan catatan sisi sisi negatif IKN. Karena, kalau ini dipaksakan untuk diteruskan bakal berpotensi jadi ladang mega korupsi,” tandasnya.

Seluruh peserta berkomitmen bahwa proses demokrasi harus terus dijalankan dengan tidak membuka ruang bagi perpanjangan masa jabatan Presiden dan atau merevisi batasan jabatan dua periode. 

Kegiatan ini ditutup dengan puisi karya dan sekaligus dibawakan oleh moderator Febby Lintang. Salah satu bait dalam puisi tersebut berbunyi, “25 tahun lalu kami menuntut pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Tapi kini malah korupsi merajalela dan nepotisme berubah menjadi trah politik kaum darah biru”.