Jakarta, ERANASIONAL.COM – Walau hasil Pilpres belum diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sudah siap memperkarakan hasil Pilpres.

Mereka akan melayangkan ggatan sengketa hasil Pilpres 2024 setelah KPU mengumumkan penetapan hasil perhitungan suara secara nasional.

Sejak pemilihan presiden diselenggarakan secara langsung pada 2004, hasil penghitungan suara KPU selalu digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Lantas bagaimana potensi sengketa suara pilpres kali ini? Berikut sejumlah seluk-beluk yang hingga kini telah diketahui.

UU 24/2003 tentang MK mengatur sejumlah syarat yang wajib dipenuhi peserta pemilu jika mereka hendak menggugat hasil penghitungan suara KPU.

Pasal 74 pada regulasi itu mengatur, permohonan sengketa pemilu hanya dapat diajukan paling lambat 3×24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil perhitungan suara secara nasional.

Merujuk tahapan pemilu yang disusun KPU, pengumuman hasil suara itu akan diumumkan paling lambat 21 Maret 2024.

Jika KPU benar-benar mempublikasikan hasil perhitungan mereka pada tanggal itu, pasangan calon presiden-wakil presiden memiliki tiga hari untuk mengajukan permohonan sengketa ke MK.

Berdasarkan pasal 75 UU MK, kontestan Pilpres wajib menguraikan secara jelas kesalahan penghitungan suara oleh KPU yang mereka dalilkan.

Dalam berkas permohonan sengketa yang sama, paslon harus mengajukan penghitungan suara yang benar versi mereka.

UU MK memberikan waktu maksimal 14 hari kerja kepada para hakim konstitusi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara itu.

Hari kerja itu dihitung sejak permohonan sengketa yang diajukan paslon dicatat ke dalam Buku Registrasi Perkara Konsitusi.

Sebagai informasi, hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai peraih suara terbanyak.

Menurut Litbang Kompas, paslon ini mendapatkan 58,47% suara, unggul jauh dari Anies-Muhaimin (25,23%) dan Ganjar-Mahfud (16,3%).

Hitung cepat lembaga survei Charta Politika menunjukkan perolehan suara yang nyaris serupa.

Prabowo-Gibran mendapat 57,81%, Anies-Muhaimin 25,57%, dan Ganjar-Mahfud 16,61%.

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum tata negara di Universitas Mulawarman, menilai gugatan sengketa hasil penghitungan suara berpotensi besar mengubah jalannya kompetisi.

Dia mengatakan, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berpeluang mencegah kemenangan Prabowo-Gibran dalam satu putaran.

“Kalau salah satu paslon ini bisa membuktikan bahwa 7%-8% suara Prabowo-Gibran diraih dari kecurangan, gugatan itu bisa mempengaruhi jalannya Pilpres—bisa berlanjut ke putaran kedua,” kata Herdiansyah.

“Kecurangan 7-8% itu yang mesti dibuktikan oleh paslon nomor urut 1 dan 3,” ujarnya.

UU 7/2017 tentang Pemilu melalui pasal 416 ayat (1) mengatur tiga syarat yang harus dipenuhi paslon untuk memenangkan pilpres dalam satu putaran.

Paslon itu harus mendapat lebih dari 50% suara dan menang di lebih dari setengah provinsi atau minimal 20 provinsi.

Adapun syarat ketiga mengharuskan paslon meraih minimal 20% suara di setengah jumlah provinsi.

Terkait syarat itu, Herdiansyah berkata, paslon yang menggugat ke MK juga dapat menjegal pilpres satu putaran jika berhasil membuktikan satu dari 20 provinsi ternyata tidak dimenangkan Prabowo-Gibran.

Herdiansyah berkata, dua hal inilah yang setidaknya dapat diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ke MK.

Gugatan yang berfokus untuk mengubah perolehan suara kedua paslon, menurutnya, lebih sukar mengubah peta persaingan karena selisih yang besar antara keduanya dengan Prabowo-Gibran.

“Yang bisa digugat bukan soal selisih suara dari masing-masing paslon, tapi lebih ke isu bagaimana pilpres harus berlangsung ke putaran kedua,” kata Herdiansyah. (*)