Jakarta, ERANASIONAL.COM – Dewan Pers mengkritik isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersebar di masyarakat.

RUU tersebut dinilai bisa memberangus kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers.

Salah satu yang jadi sorotan adalah larangan penayangan jurnalistik investigasi.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana memberikan catatan-catatan terkait draft RUU penyiaran tersebut.

Dirinya turut menyoroti peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers.

“Pasal 25 ayat 1 huruf q yang menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di Bidang Penyiaran. Pasal ini tentu akan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,” kata Yadi dikutip dari Okezone, Sabtu 11 Mei 2024.

Harusnya kata Yadi, sengketa pers harus diselesaikan oleh dewan pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

“Sengketa pers itu seperti dalam Pasal 15 mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers, salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers,” kata Yadi.

“Jadi memang Dewan Pers ini satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menyelesaikan sengketa pers,” sambungnya.

Yadi menilai kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa pers akan memberangus kebebasan pers.

Menurutnya KPI tidak menjadi bagian dari rezim etik, sedangkan Dewan Pers menjadi bagian rezim tersebut.

“Jadi itu jelas akan memberangus pers kalau seandainya ini ada juga,” tegas Yadi.

Yadi juga menyoroti adanya larangan mengenai ekslusif jurnalistik investigasi yang tertulis pada Draft RUU penyiaran.

Menurutnya adanya aturan tersebut berdampak dengan adanya campur tangan pemerintah dan akan ada pembatasan peliputan.

“Ini bahaya, adanya larangan mengenai liputan investigasi seperti dalam rancangan Undang-Undang ini akan menyebabkan ada campur tangan dari regulator pemerintah. Kalau seandainya ada pembatasan peliputan -peliputan jurnalistik termasuk di sini adalah larangan investigasi,” ujarnya.

“Dalam draft rancangan RUU penyiaran ini pasal 56 ayat 2 isinya melarang menayangkan eksklusif penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Apa dasarnya pelarangan ini, pelarangan ini justru akan memberangus pers,” sambung dia.

Yadi menegaskan bahwa pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Dalam aturan tersebut, katanya, telah diatur panduan Kode Etik Jurnalistik yang sudah disahkan oleh Dewan Pers dan masyarakat pers seluruh Indonesia.

“Kami berharap para pembuat rancangan Undang-Undang ini mengkomunikasikan ini dengan masyarakat pers bahwa ini ada irisan yang harus segera dibereskan,” ungkapnya.

Yadi juga meminta kepada pemerintah untuk mengajak dan berdiskusi terkait perancangan draft RUU penyiaran tersebut.

Menurutnya jika tidak ada diskusi, maka RUU penyiaran tersebut dapat menjadi bumerang dan membungkam kebebasan pers.

Ini harus ada diskusi dan dialog yang benar antara para pembuat rancangan Undang-Undang ini dengan masyarakat pers.

“Jangan sampai kemudian ini akan jadi backfire dan akan membungkam kebebasan berpendapat, kebebasan pers yang justru menjadi kunci dari tumbuhnya demokrasi di tanah air,” tutupnya. []