“MC [Choiri] langsung memerintahkan MK [Khoiri] untuk segera memproses dan menyiapkan anggaran senilai Rp150 miliar,” ungkapnya.

Alex kemudian mengatakan bahwa akhirnya kedua pihak sepakat penjualan lahan seharga Rp120 ribu per meter persegi, yang seharusnya menurut keterangan desa setempat, lahan tersebut berharga sekitar Rp35 ribu sampai Rp50 ribu per meter persegi.

Choiri akhirnya memerintahkan Khoiri untuk membuat laporan fiktif berupa laporan akhir kajian kelayakan untuk melengkapi syarat kelengkapan pembayaran uang muka.

“Sebagai salah satu kelengkapan dokumen pencairan uang muka termasuk pelunasan yang diputuskan pada divisi keuangan PTPN XI,” ujar Alex.

KPK menyimpulkan bahwa ada mark up dalam penjualan lahan tersebut. Kesimpulan tersebut juga diperkuat oleh P2PK Kementerian Keuangan dan hasil kaji ulang litigasi Dewan Penilai Masyarakat Profesi Penilai Masyarakat (MAPPI), serta kesimpulan dari KJPP Sisco cabang Surabaya yang menyimpulkan dan menyatakan bahwa angka tersebut tidak wajar dan terjadi mark up.

Selanjutnya, Alex menyampaikan bahwa Cholidi memaksakan pembelian lahan tersebut dikarenakan fakta lapangan bahwa lahan tersebut tidak cocok untuk dijadikan perkebunan tebu karena keterbatasan lereng, akses, dan juga air.

KPK menduga bahwa terdapat pemberian uang sejumlah Rp1 miliar ke berbagai pihak di PTPN XI agar mempermudah pembelian lahan tersebut. Berdasarkan hasil dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), negara ditaksir mengalami kerugian Rp30,2 miliar dalam kasus tersebut.