Atas hal ini, KAI pun akhirnya memberlakukan tindakan tegas kepada pelaku kriminal, khususnya kekerasan seksual.

Pelaku akan diblacklist sebagai penumpang, dan tidak dapat menggunakan layanan KAI lagi. Bahkan, pelaku akan diusir jika kedapatan berada di kawasan stasiun.

“Makanya kami berlakukan secara lebih tegas lagi, ketika ada seorang pelaku tindak kriminal yang melakukan tindak kriminal atau kekerasan seksual tadi yang kategorinya ekstrem, kami akan blacklist yang bersangkutan sebagai penumpang,” tuturnya.

“Sehingga dengan data yang ada di kami, yang muncul di CCTV analitik kami, dia akan kami usir dari stasiun ketika yang bersangkutan terlihat ada di stasiun,” tambahnya.

Terkait blacklist pelaku kriminal yang khususnya kekerasan seksual, bisa berlaku seumur hidup. Namun hal ini menimbang dengan seberapa berat tindakan kekerasan seksual yang dilakukan.

“Bisa jadi seumur hidup tergantung dari sekali lagi, kejadian yang dialami oleh si korban,” ungkap Broer.

“Karena bisa jadi kategorinya terlalu ekstrim, ya, sehingga atau seperti yang disampaikan tadi, ternyata beberapa kali dia melakukan satu tindakan kekerasan seks, tentu itu tidak bisa kami toleransi lagi,” sambungnya.

Mekanisme blacklist dari KRL tentunya berbeda dengan KA Jarak Jauh. Sebab KA Jarak Jauh menggunakan NIK untuk pembelian tiket, sedangkan KRL hanya menggunakan kartu e-money tanpa identitas penumpang.

“Sehingga blacklist yang bisa kami lakukan itu, dengan menyimpan data diri penumpang tersebut yang ter-capture dari video yang kami ambil dari laporan korban,” imbuhnya.

Setelah di-capture, data pelaku disimpan sebagai target operasi. Data itu yang jadi pegangan KAI untuk memonitor pelaku berada di kawasan stasiun atau tidak.

“Begitu pelaku termonitor di layar monitor pantauan kami, tentu petugas akan menginformasikan ke lapangan untuk jangan diperbolehkan penumpang itu masuk ke stasiun,” pungkasnya.