Jakarta, ERANASIONAL.COM – Tragedi robohnya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan 67 korban pada awal Oktober 2025, kini berlanjut ke babak baru: polemik penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk rekonstruksi.
Wacana pembangunan ulang ponpes tersebut menggunakan dana negara, yang dilontarkan pertama kali oleh Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo, menuai kritik tajam dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Para wakil rakyat mendesak pemerintah untuk bersikap hati-hati dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Menteri PU Dody Hanggodo menyatakan bahwa penggunaan APBN adalah langkah sementara, mengingat robohnya ponpes merupakan kondisi darurat yang menuntut penanganan cepat. Meskipun anggaran pembangunan ponpes pada umumnya berada di bawah Kementerian Agama, Dody menyebut Kementerian PU akan mengambil alih penanganan darurat ini.
“Insyaallah cuma dari APBN ya. Tapi tidak menutup kemungkinan nanti kita juga ada bantuan dari swasta kita pasti bantu. Cuma sementara waktu dari APBN,” ujar Dody pada konferensi pers di kantor Kementerian PU, Selasa (7/10/2025).
Kekhawatiran DPR: Keadilan dan Proses Hukum
Rencana ini segera disoroti oleh DPR, terutama mengingat insiden tersebut saat ini masih dalam penyelidikan polisi terkait adanya dugaan unsur kelalaian hukum.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Golkar, Atalia Praratya, mendesak pemerintah agar melakukan pengkajian ulang secara serius. Ia menekankan bahwa mekanisme penggunaan APBN harus jelas, transparan, dan tidak boleh menimbulkan kecemburuan sosial.
“Usulan penggunaan APBN ini harus dikaji ulang dengan sangat serius, sambil memastikan proses hukum berjalan dan kebijakan ke depan lebih adil, lebih transparan,” kata Atalia, Jumat (10/10/2025).
Atalia menyuarakan kegelisahan publik yang khawatir akan muncul kesan bahwa lembaga yang diduga lalai justru mendapat bantuan dana negara, sementara banyak pihak lain yang tertimpa musibah serupa—seperti sekolah atau rumah ibadah yang roboh—tidak mendapat perlakuan yang sama.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa proses hukum harus ditegakkan terlebih dahulu. “Kalau memang ada unsur kelalaian, harus ada pihak yang bertanggung jawab. Keadilan bagi korban lebih utama,” tegasnya.
Risiko Kecemburuan Sosial
Kritik senada datang dari Anggota Komisi V DPR Fraksi PAN, Ahmad Bakri. Ia mengingatkan pemerintah bahwa dana APBN memiliki keterbatasan. Penggunaan anggaran negara untuk Ponpes Al Khoziny, menurutnya, harus diperhitungkan matang-matang agar tidak memicu masalah baru, yaitu kecemburuan sosial dari pondok-pondok pesantren lain.
“Ini yang menjadi permasalahan, saya pikir, anggarannya, kalau semuanya menggunakan APBN, tentu juga takut nanti kecemburuan dari pondok-pondok yang lain,” ujar Bakri.
Terlepas dari polemik ini, Atalia Praratya mengakui bahwa negara memang memiliki kewajiban untuk melindungi santri dan menjamin keberlangsungan pendidikan keagamaan. Namun, ia mengingatkan bahwa kewajiban tersebut berlaku untuk ribuan pesantren dan lembaga pendidikan agama lain yang bangunannya sudah tua dan berisiko, bukan hanya untuk Ponpes Al Khoziny.
Dengan pengusutan hukum yang masih berjalan dan desakan DPR yang semakin kuat, pemerintah kini dituntut untuk meninjau kembali rencananya dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan