Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra

Yogyakarta – Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Rapat Koordinasi secara luring dan daring pada Jumat (29/10/2021) lalu.

Bahasan pada Rakor kali ini terkait dengan implementasi Reforma Agraria di Provinsi DIY, khususnya dalam hal penegasan status tanah tutupan Jepang dan mendorong jalannya program Jawa Bagian Selatan dalam cakupan Pawonsari (Kab. Pacitan; Kab. Wonogiri; dan Wonosari, Kab. Gunungkidul).

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra, berkata bahwa ia setuju dengan pernyataan Gubernur Provinsi DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono atau juga disebut Ngarso Dalem, yang menyebut bahwa penting untuk kritis terhadap segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam.

Surya Tjandra juga berkata bahwa jangan sampai hanya karena mendorong investasi sehingga mengambil jalan pintas.

“Bagaimana pentingnya kerja sama antara Kementerian ATR/BPN dengan pihak Keraton dan Pakualaman terkait pemanfaatan tanah yang berkeadilan untuk menjadi perhatian kita semua,” jelas Wamen ATR/Waka BPN.

Surya Tjandra juga menjelaskan terkait dua hal besar yang menjadi pokok bahasan Rakor kali ini, yakni terkait penegasan status tanah tutupan Jepang dan pengembangan Pawonsari. Menurutnya, penegasan status tanah ini menjadi bukti bahwa negara hadir.

“Kita perlu langkah konkret ke depan mulai dari inventarisasi, pemetaan, dan lainnya terkait ini,” tuturnya.

Lebih lanjut terkait Pawonsari, Surya Tjandra berkata bahwa sudah ada arahan jelas terkait pengembangan kawasan Pawonsari, mulai dari strategi hingga perangkat berupa Memorandum of Understanding (MoU) antara Bupati Gunungkidul, Bupati Wonogiri, serta Bupati Pacitan pada tahun 2002.

“Kami siap mendukung, mewujudkan bagaimana Reforma Agraria ini sehingga bisa kita eksekusi,” pungkasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria, Andi Tenrisau. Ia berkata bahwa penegasan status tanah tutupan Jepang sebagai wujud nyata kehadiran negara serta cukup relevan dan konseptual.

Hal ini sesuai dengan prinsip Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengintegrasikan semangat nasionalisme dan kearifan lokal.

Andi Tenrisau berkata bahwa ketika bicara bagaimana mengelola sumber daya agraria, tentu salah satu tujuannya adalah memastikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ia juga berkata bahwa tentunya melalui Rakor ini, dapat dirumuskan bagaimana penyelesaian konsep tanah tutupan Jepang dan pengembangan konsep Pawonsari ke depan.

Gubernur Provinsi DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengajak semua pihak untuk bersama melakukan pendataan yang akurat dalam menjalankan Reforma Agraria.

Ia berkata bahwa tanah merupakan sumber kehidupan yang tak pernah bertambah sehingga perlu diatur dan dipelihara melalui sistem hukum yang tepat.

Ngarso Dalem juga mengutarakan sikapnya terkait pembangunan ekonomi yang hanya mengejar dan merangsang investasi tanpa diiringi dengan kebijakan yang sesuai dengan aturan pertanahan.

“Melalui semangat Reforma Agraria, hendaknya digulirkan sistem pertanahan nasional yang terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka pendayagunaan tanah,” tegasnya.

Dalam kegiatan ini, juga berlangsung penandatanganan berita acara penegasan status tanah tutupan Jepang yang berlangsung antara Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Kepala Kanwil BPN Provinsi DIY, Suhendro. Kemudian, berlangsung juga penandatanganan perjanjian kerja sama terkait penanganan Reforma Agraria antara Kanwil BPN Provinsi DIY dengan Universitas Gadjah Mada (UGM