Jakarta – Dinilai ancam kebebasan pers, Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra mendesak agar DPR dan Pemerintah menghapus pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Azyumardi Azra, pasal-pasal tersebut disinyalir akan mengancam kebebasan pers.
Azyumardi menilai, pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draft RKUHP pada naskah yang terbaru.

“Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan,” kata Azyumardi kepada awak media di Gedung Dewan Pers Jakarta, Jumat (15/7/2022).
“Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers,” ungkapnya.
Disampaikan Azyumardi, pasal-pasal dalam RKUHP terbaru itu beberapa diantaranya adalah pasal 184 tentang Tindak Pidana terhadap Idiologi Negara, pasal 2018-2020 tentang Tindak Pidana Penyerangan terhadap Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, lanjut Azyumardi, Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, serta Pasal 437 dan 443 tentang Tindak Pidana Pencemaran.
“ Dewan Pers menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan berpotensi membelennggu kebebasan pers,” ujarnya.
Lanjut Azyumardi, beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers, seperti misalnya larangan menyiarkan hal-hal berbau komunisme, marxisme dan leninisme.
Mantan Rektor UIN ini mengungkapkan, dalam rancangan aturan itu, apabila tulisan memuat tentang komunisme lalu menimbulkan kegaduhan, jurnalis dapat dipidana dengan ancaman dua tahun penjara meski tulisan itu bernada kritis.
“Kalau misal menimbulkan kegaduhan maka kemudian bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban luka atau ada yang cidera itu hukumannya nambah. Itu contohnya,” ungkap dia.
Azyumardi juga menilai jurnalis rentan menjadi objek kriminalisasi. Jurnalis tak diperbolehkan mengkritik pemerintah bila tak mengikutsertakan solusi di tulisannya.
“Kalau kita mengkritik ya boleh mengkritik tapi harus ada solusinya. Oleh karena itu media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena delik. Walaupun kemudian pihak pemerintah ketika saya tanya soal ini ya dia bilang ya ga harus begitu, tapi kan pengalaman kita pasal-pasal seperti itu seperti pasal karet yang ada di UU ITE,” tuturnya.
Azyumardi menyayangkan keputusan pemerintah dan DPR yang tak lagi mengundang Dewan Pers untuk mendiskusikan RKUHP. Pasalnya, pembahasan RKUHP perlu melibatkan partisipasi publik, termasuk mereka yang terdampak langsung.
Dewan Pers berharap ada niat baik DPR dan pemerintah, dengan mengundang Dewan Pers untuk bersama-sama mengkaji ulang RKUHP.
“Coba diundang, dibahas kembali pasal-pasal yang kontroversial itu agar kita diskusikan kembali. Memang yang kontroversial itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak kontroversial ada banyak, tapi yang kontroversial ini seperti menyangkut kehidupan pers. Itu sangat berbahaya bagi kehidupan pers kita di masa depan,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan