JAKARTA, Eranasional.com – Jelang tutup tahun 2022, Presiden Joko Widodo memberikan kado akhir tahun bagi masyarakat Indonesia. Kado itu bernama Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022) yang diterbitkan pada 30 Desember 2022. Namun, kado ini ternyata tidak disambut gembira oleh (sebagian besar) masyarakat Indonesia.
Sebabnya, kado ini justru semakin menguatkan bahwa Presiden Jokowi dianggap tidak menghormati hukum dalam mengeluarkan suatu kebijakan.
Presiden dan Perppu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan oleh presiden dengan prosedur di luar kondisi normal.
Dikatakan demikian karena Perppu merupakan produk yang dikeluarkan oleh eksekutif, tapi kedudukannya setara dengan undang-undang.
Padahal, dalam teori separation of powers, kekuasaan legislasi berada pada lembaga legislatif. Namun, dalam hal ini justru presiden yang memimpin jalannya penerbitan suatu produk legislasi, yang dalam proses pembentukannya tidak melibatkan lembaga legislatif.
Pada beberapa negara dengan sistem presidensial, perppu merupakan bagian dari kekuasaan Presiden dalam bidang perundang-undangan.
Istilah lain dari Perppu ini antara lain constitutional decree authority, executive decree authority, atau presidential decree authority.
Termasuk di dalam kelompok kekuasaan ini adalah dalam hal pengajuan rancangan undang-undang, maupun dalam hal veto terhadap suatu rancangan undang-undang.
Selain itu juga terdapat produk hukum yang dikeluarkan oleh presiden seperti peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden.
Dalam sistem presidensial, terdapat relasi yang sangat erat antara terbitnya perppu dengan kondisi devided government.
Kondisi ini terjadi karena kelemahan dari sistem presidensial yang memberikan kuasa rakyat kepada eksekutif dan legislatif sehingga sangat mungkin terjadi minority government.
Artinya, eksekutif tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari legislatif sehingga timbul instabilitas pemerintahan. Salah satunya imbasnya adalah dengan lahirnya perppu dari tangan presiden.
Contoh paling menarik adalah di Brasil pada 1990 ketika dipimpin oleh Fernando Affonso Collor De Mello. Dalam temuan Neto (2002), De Mello menerbitkan sekitar 36 perppu dalam tempo 15 hari awal dia memimpin.
Bahkan, dalam tahun pertamanya, De Mello menerbitkan setidaknya 160-an perppu.
Bila dibandingkan dengan Indonesia, maka presiden kita masih dapat menahan diri untuk mengeluarkan perppu. Pemerintahan Jokowi dari 2014-2022 setidaknya telah mengeluarkan 8 perppu.
Sedangkan pada masa pemerintahan SBY telah menerbitkan 19 Perppu. Di Indonesia, perppu diatur dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pasal tersebut diatur mengenai kriteria terkait perppu yang dikeluarkan oleh presiden. Pertama, adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua, perppu bersifat sementara hingga DPR memberikan persetujuan terhadap perppu tersebut.
Jika DPR setuju, maka perppu tersebut akan ditetapkan menjadi undang-undang. Namun, apabila DPR tidak setuju, maka perppu tersebut harus dicabut.
Memaknai kegentingan memaksa Perdebatan selanjutnya adalah memaknai hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Dalam pertimbangan Perppu Cipta Kerja, setidaknya ada tujuh kondisi yang dianggap memenuhi parameter kegentingan memaksa oleh presiden.
Pertama, pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, penyerapan tenaga kerja dan adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat mengganggu perekonomian nasional.
Ketiga, perlunya penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan cipta kerja.
Keempat, kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja.
Kelima, perlunya terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang dengan metode omnibus.
Keenam, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Cipta Kerja sebelumnya.
Ketujuh, respons terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Ketujuh hal inilah yang kemudian direspons oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.
Pertanyaannya, apakah parameter tersebut tepat dikatakan sebagai kegentingan memaksa? Dalam aturan di Indonesia, tidak ada aturan yang jelas terkait parameter kegentingan memaksa tersebut.
Kondisi kegentingan memaksa pada akhirnya merupakan subyektif presiden. Namun, MK dalam Putusan No.138/PUU-VII/2009 telah memberikan panduan bagi presiden terkait parameter kegentingan yang memaksa.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, adanya kekosongan hukum karena belum ada UU yang mengatur, atau UU yang tersedia tidak memadai.
Ketiga, pembuatan UU dengan prosedur biasa memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan dalam mengatasi kekosongan hukum tersebut.
Meski MK sudah memberikan panduan, namun penerbitan perppu ini masih berpotensi menimbulkan masalah.
Menurut Fitra Arsil (2018), ada tiga potensi masalah, yakni: (i) makna kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum; (ii) perlunya penilaian yang cukup mengenai makna kekosongan hukum; dan (iii) penjelasan presiden tentang proses legislasi biasa dianggap tidak bisa dilakukan karena alasan waktu.
Ketiga potensi ini setidaknya harus dapat dijelaskan dengan tegas oleh presiden dihadapan DPR.
Mencermati putusan MK tentang UU Cipta Kerja Problematika Perppu 2/2022 tidak lepas dari Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tentang pembatalan secara formil UU Cipta Kerja.
Bahkan putusan MK tersebut juga menjadi salah satu konsiderans dalam penerbitan Perppu ini.
Namun, apakah tepat pelaksanaan Putusan MK ini dengan penerbitan perppu? Untuk menjawab ini, kita perlu mencermati kembali putusan MK tersebut.
Hal utama yang membuat UU Cipta Kerja dibatalkan adalah karena MK menimbang bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan asas dan tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011.
Tidak adanya asas keterbukaan dan “partisipasi bermakna” atau meaningful participation menjadi unsur utama karena suatu UU yang dibuat oleh presiden dan DPR akan berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan partisipasi yang luas dan cukup untuk menampung aspirasi dari masyarakat.
Namun, partisipasi ini lagi-lagi “diabaikan” dengan penerbitan Perppu 2/2022. Selanjutnya, meski MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, namun MK memandang bahwa pembuatan UU dengan metode omnibus tetap diperlukan.
Alasannya adalah untuk mengatasi obesitas regulasi dan tumpang tindih aturan dari berbagai sektor.
Oleh karena itu, MK kemudian memerintahkan pembuat UU untuk membuat landasan hukum yang dapat mengakomodasi pembuatan UU dengan metode omnibus.
Perintah ini kemudian direspons oleh DPR dan Presiden dengan merevisi UU 12/2011, yang kemudian menjadi UU 13/2022.
Dengan adanya dasar hukum ini, diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat dan sesuai untuk mengakomodasi pembuatan UU dengan metode omnibus.
Selain itu, MK juga memberikan kesempatan maksimal 2 tahun kepada pembuat UU untuk dapat membuat “UU Cipta Kerja” yang baru yang sesuai dengan asas dan tata cara pembuatan UU sesuai dengan UU 13/2022.
Alih-alih membuat UU baru, Presiden justru menerbitkan Perppu 2/2022 sebagai jalan pintas untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah dibatalkan.
Padahal, waktu 2 tahun dianggap cukup untuk proses legislasi secara normal. Apalagi, dalam masa pandemi ini, DPR dan Presiden beberapa kali membahas dan membuat UU dalam tempo yang cukup cepat. Mengacu kepada penjabaran di atas, tampaknya kita perlu menolak kado akhir tahun dari Presiden ini.
Alih-alih melibatkan masyarakat, justru Presiden Jokowi kembali unjuk kekuasaannya di tengah banyaknya polemik ketatanegaraan di Indonesia belakangan ini.
Bahkan, dapat dikatakan Presiden sebenarnya percaya diri bahwa Perppu ini akan diloloskan oleh DPR dengan melihat komposisi fraksi pendukung pemerintah di DPR.
Dengan demikian, jalan satu-satunya untuk menjaga marwah negara hukum kita adalah melalui pengujian undang-undang di MK. Bila Perppu ini diajukan, semoga saja MK masih tetap dapat menjaga marwah negara hukum di Indonesia.
Tinggalkan Balasan