Jakarta, ERANASIONAL.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyatakan keprihatinan mendalam atas kegiatan pertambangan nikel di wilayah kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Lembaga tersebut menilai aktivitas tambang di enam pulau kecil di kawasan itu berpotensi besar melanggar hak atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan hukum nasional.

“Berpotensi sangat kuat menimbulkan pelanggaran HAM, terutama di bidang lingkungan hidup. Setiap warga negara dijamin dalam konstitusi untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang sehat,” ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam rilis resmi, Jumat, 13 Juni 2025.

Pernyataan ini muncul menyusul ditemukannya aktivitas penambangan oleh lima perusahaan di enam pulau kecil, yakni Pulau Gag, Kawei, Manuran, Waigeo, Batang Pele, dan Manyaifun. Empat dari lima perusahaan telah aktif melakukan penambangan, sementara satu lainnya, PT Nurham, belum memulai kegiatan di Pulau Waigeo.

Kelima perusahaan itu adalah PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Keberadaan dan operasi mereka terpantau oleh Komnas HAM melalui data awal dan laporan lapangan.

Langgar Ketentuan Internasional dan Nasional

Komnas HAM menekankan bahwa seluruh pulau yang ditambang termasuk dalam kategori pulau kecil.

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang seharusnya tidak dilakukan di kawasan semacam itu karena rentan merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal.

“Perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujar Komisioner Pemantauan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian.

Ia menambahkan, prinsip HAM secara jelas mendukung perlindungan terhadap lingkungan yang layak huni sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa ditawar.

Selain kerusakan lingkungan, Komnas HAM juga mengingatkan potensi konflik sosial akibat kegiatan tambang.

Menurut Anis, keberadaan tambang di tengah masyarakat berisiko memicu konflik horizontal antara warga yang mendukung kegiatan tambang dan yang menolak karena dampaknya terhadap ekosistem dan sumber penghidupan.

Izin Dicabut, Tapi Tanggung Jawab Belum Usai

Dalam pekan yang sama, Presiden Prabowo Subianto mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah tersebut. Keempatnya milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Komnas HAM menyambut baik langkah pencabutan ini sebagai bentuk perlindungan lingkungan dan penegakan hukum. Namun, pencabutan izin disebut belum cukup untuk memulihkan kondisi yang sudah terlanjur rusak.

“Langkah ini harus diikuti dengan tindakan konkret pemulihan hak masyarakat setempat, termasuk pemulihan ekosistem dan restorasi bekas tambang,” kata Anis.

Satu perusahaan, PT Gag Nikel, masih memegang izin aktif karena dalam peninjauan ditemukan bahwa aktivitas tambangnya dinilai sesuai prosedur dan tidak menimbulkan dampak lingkungan besar.

Meski demikian, aktivitas perusahaan ini tetap dihentikan sementara untuk evaluasi lanjutan.

Komnas HAM Akan Turun Langsung

Untuk memastikan kondisi di lapangan dan mendapatkan data akurat, Komnas HAM akan menurunkan tim pemantau ke Raja Ampat dalam waktu dekat.

Pemantauan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam soal proses perizinan, dampak aktivitas tambang terhadap masyarakat, dan langkah pemulihan yang sudah atau belum dilakukan pemerintah dan perusahaan.

“Dari pemantauan itulah nanti kami akan mendapatkan fakta-fakta informasi lebih lanjut tentang seluruh proses, terkait situasi masyarakat, kondisi lingkungan, dan proses hukum,” tutur Anis.

Saurlin menambahkan bahwa tim pemantau akan melakukan kunjungan ke lokasi dan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan, termasuk dari perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat terdampak.

Catatan Penting untuk Pemerintah

Komnas HAM menekankan bahwa penanganan kasus tambang di Raja Ampat harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah, dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.

Menurut lembaga tersebut, paradigma pembangunan yang berbasis eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan partisipasi masyarakat justru akan menimbulkan persoalan jangka panjang yang lebih besar.

“HAM dan lingkungan hidup bukan dua isu terpisah. Mereka saling terkait. Ketika lingkungan rusak, maka kehidupan masyarakat juga ikut terancam. Maka pendekatan berbasis hak harus menjadi arus utama dalam setiap kebijakan sumber daya alam,” pungkas Anis. []