JAKARTA, Eranasional.com – Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan perlu adanya pembenahan total manajemen partai politik. Hal tersebut disampaikannya menanggapi anjloknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022.
Grace menyebut salah satu faktor yang menjadikan IPK Indonesia anjlok adalah indikator Political Risk Services (PRS). Artinya, kata dia, indeks tersebut menilai kerja pemangku kepentingan di Indonesia masih bersinggungan dengan konflik kepentingan.
“Indikator ini menilai tingkat korupsi politik mulai dari pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi, dan militer masih menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi,” kata Grace pada Sabtu (4/2/2023).
Dengan melihat dari pengalamannya bekerja di DPRD, Grace mengatakan korupsi itu merupakan kerja kolektif. Korupsi, menurut dia, tidak akan berhasil tanpa adanya kesepakatan bersama antara eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga swasta.
“Korupsi itu tidak bisa dilakukan sendirian, harus terjadi dari kesepakatan bersama-sama. Jadi banyak elemen yang terlibat didalamnya,” ujarnya melalui pesan tertulis.
Sehingga, Grace menilai pembenahan manajemen partai politik merupakan salah satu cara terbaik dalam mencegah korupsi. Sebab, kata dia, partai politik memiliki tugas untuk melakukan rekrutmen terhadap pemimpin.
“Kalau partai masih permisif terhadap koruptor atau melakukan cara-cara politik uang, bagaimana mungkin pemimpin yang dihasilkan akan bersih,” ujar dia.
Pendapat senada disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Partai Bidang Hukum dan HAM PSI Ariyo Bimmo. Ia mengatakan terdapat kecenderungan penurunan skor IPK saat mendekati pagelaran tahun politik.
“Hal ini tentu menjadi sinyal bagi kita semua bahwa politik bersih itu masih harus diperjuangkan. Peran partai politik diperlukan utamanya memperbaiki akuntabilitas dan pendidikan antikorupsi para kadernya,” ujar dia dalam kesempatan berbeda.
Bimmo juga menyoroti kerja aparat penegak hukum pada saat mengusut kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh yang dikenal luas oleh publik. Ia menyebut kasus-kasus semacam itu dibiarkan berlarut-larut dan kurangnya transparansi kepada publik.
“Bagaimanapun justice delayed is justice denied. Bila semuanya terang benderang dan tidak bertele-tele, maka tidak akan ada persepsi buruk kepada aparat penegak hukum,” kata Bimmo.
Sebelumnya, Transparency International mengeluarkan IPK tahunan pada tahun 2022 termasuk Indonesia. Dalam penilaian tersebut, Indonesia mendapatkan angka 34 yang menunjukkan penurunan empat poin dari 2021 yaitu 38. Poin tersebut juga membuat posisi IPK Indonesia melorot ke posisi 110 dari 180 negara. Padahal pada 2021 Indonesia berada di posisi 96.
Tinggalkan Balasan