Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) Liona Nanang Supriatna. (Foto: ISTIMEWA)

JAKARTA, Eranasional.com – Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia merupakan bentuk hukuman peninggalan penjajah Belanda. Hukuman mati dinilai nirkeadilan dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan.

Pandangan itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Liona Nanang Supriatna di Jakarta, Kamis (16/2/2023).

Pernyataan itu disampaikan Liona menanggapi vonis mati terhadap Ferdy Sambo dan beberapa kasus lain, seperti kasus terorisme, narkoba, dan korupsi.

Menurut Liona, secara juridis formal, pidana mati (dood straf) di Indonesia adalah peninggalan penjajah Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada 1 Januari 1918.

Pemberlakuan pidana mati di Indonesia berdasarkan asas konkordasi, yang ternyata tidak konsisten dengan KUHP Belanda di negeri asalnya.

“Pasalnya, Pemerintah Hindia Belanda memanipulasi hukuman mati, karena sejak 1870 hukuman mati untuk masyarakat sipil ternyata telah dihapuskan dan bagi kalangan militer baru pada 1983,” ujarnya.

Disebutkan, hukuman mati tetap diberlakukan oleh Hindia Belanda dengan tujuan sebagai dasar hukum untuk menghukum mati para pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda.

President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) itu juga mengatakan, dalam masyarakat yang modern serta dalam berbagai literatur terkini, pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok, termasuk pada UU KUHP yang baru.

Disebutkan KUHP yang baru (UU Nomor 1 tahun 2023) bertujuan agar pemidanaan bagi pelaku tindak pidana tidak lagi semata-mata untuk balas dendam terhadap kejahatan yang dilakukan.

Tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat.

Pemidanaan, ujarnya, bertujuan untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.

Selain itu, juga untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.

Menurut Liona, pidana mati menimbulkan persoalan tersendiri jika ditinjau dari Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pasal itu menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apa pun.

Persoalan lain adalah jika dikaitkan dengan Pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal itu secara tegas menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.

“Dalam konteks HAM, kedua pasal itu termasuk pada non-derogable rights atau hak yang tidak bisa dikesampingkan atau ditawar lagi, yakni HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau dalam keadaan darurat,” ujar Dewan Penasihat PP ISKA itu.

Persoalan lain adalah pertentaangan dengan UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Menurut Liona, hukuman mati mengakibatkan tujuan dan fungsi dari pemasyarakatan tidak berguna.

“Pemasyarakatan bertujan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,” ujarnya.