Eranasional.com – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kembali menyelenggarakan kegiatan penyampaian Laporan Kerja tahun 2020 yang bertajuk “Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi : LPSK Menolak Menyerah” yang masih diselenggarakan di Ruang Abdul Muis, Gedung DPR RI, Senayan. Kali ini pembahasan difokuskan upaya perlindungan LPSK pada perkara Korupsi, Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak, Penyiksaan dan Penganiayaan Berat
Menurunnya angka permohonan pada perkara korupsi di tahun 2020 menjadi perhatian penting bagi LPSK. Penurunan jumlah permohonan yang sebelumnya sebanyak 72 permohonan di 2019 menjadi 48 permohonan menjadi salah satu bahan evaluasi penting bagi LPSK, khususnya untuk permohonan menjadi saksi, pelapor atau saksi pelaku (justice collaborator).
Padahal, menurut Wakil Ketua LPSK Achmadi upaya dan langkah proaktif LPSK selama 2020 untuk menawarkan perlindungan dan koordinasi dengan penegak hukum untuk merekomendasikan saksi-saksi yang terindikasi mendapatkan ancaman/intimidasi kerap dilakukan. “Kami terus memantau perkara korupsi yang terjadi, terutama yang menarik perhatian publik seperti perkara Joko Tjandra, benur lobster hingga perkara bantuan sosial selama pandemi yang melibatkan menteri ” ujar Achmadi.
Achmadi menambahkan jumlah terlindung perkara korupsi juga mengalami penurunan hingga sekitar 50 persen pada 2020 dengan jumlah sebesar 53 terlindung, dimana pada tahun sebelumnya mencapai 115 terlindung. Terbanyak, status hukum terlindung adalah sebagai pelapor, disusul dengan saksi. “Untuk yang berstatus sebagai saksi pelaku masih sangat minim, di tahun ini hanya 5 orang saksi pelaku yang menjadi terlindung, padahal peran justice collaborator sangat vital untuk menguak tabir kasus korupsi yang sering mengalami kendala” ujar Achmadi.
Untuk itu, Achmadi menilai perlunya ada kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan dan perlindungan terhadap justice collaborator dari seluruh aparat penegak hukum, karenanya Kementerian Hukum dan HAM bersama LPSK tengah Menyusun regulasi berupa peraturan presiden sebagai upaya penyamaan pandangan terhadap justice collaborator. “Rancangan Perpres tentang justice collaborator sudah diusulkan LPSK dan saat ini telah masuk dalam tahapan pembahasan di tingkat Panitia Antar Kementerian” pungkas Achmadi
Untuk perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, LPSK mencatat penurunan permohonan sebanyak 31,75 persen bila dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Pada tahun 2020 permohonan hanya sebesar 245 permohonan, sedangkan tahun sebelumnya mencapai 359 permohonan.
Wakil Ketua LSPK Livia Iskandar mengatakan terdapat beberapa kendala dalam penerimaan permohonan perkara kekerasan seksual, diantaranya faktor psikis korban yang masih mengalami trauma sehingga dibutuhkan treatement khusus dalam penanganan. Selain itu, banyak pula dijumpai pengunduran diri pemohon karena sudah dlakukan perdamaian dengan pelaku.
Livia menambahkan, melihat kekerasan seksual menjadi ancaman yang serius, pada tahun 2020, LPSK secara aktif menyuarakan pentingnya mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi produk undang-undang. “Kami sebetulnya cukup menyesalkan keputusan DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020’ tambah Livia
Namun demikian, Livia mengapresiasi Presiden Jokowi yang menerbitkan Perpres 75 tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi di tahun 2020. Menurutnya, LPSK akan menggunakan Perpres 75 Tahun 2020 sebagai acuan operasional dalam memberikan jaminan hak–hak anak korban dan anak saksi yang tersangkut kasus pidana.
“Perpres ini juga akan menjadi acuan dan pijakan penting bagi LPSK untuk segera mengembangkan kantor perwakilan daerah agar layanan bagi anak saksi dan anak korban semakin mudah diakses” pungkas Livia.
Perkara penyiksaan ditahun 2020 juga mengalami penurunan 54 persen jumlah jika dibandingkan tahun 2019. Meskipun begitu, secara kualitas terdapat kasus penyiksaan di tahun 2020 yang menyita perhatian publik yang ditangani oleh LPSK, yakni perkara penyiksaan Pendeta Yeremiah di Intan Jaya Papua. Kasus ini direspon pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Menkopolhukam Moh Mahfud MD.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu yang juga anggota TGPF Intan Jaya mengatakan keterlibatan LPSK dalam pencarian fakta kasus Intan Jaya memperlihatkan kesadaran pemerintah akan pentingnya peran saksi-saksi dalam mengungkap kebenaran. LPSK kemudian menindaklanjuti permohonan para saksi-saksi dalam kasus tersebut.
“LPSK juga mengapresiasi respon positif TNI AD dalam menyikapi fakta temuan TGPF, penegakan hukum yang dilakukan Pom AD merupakan contoh yang baik bahwa kita tidak memberi toleransi kepada kejahatan,” tambah Edwin.
Selain itu, LPSK tengah melakukan penelaahan terhadap permohonan yang diajukan para saksi atas peristiwa tewas 6 orang Laskar FPI yang dikenal sebagai Peristiwa KM 50. Temuan Komnas HAM dalam perkara ini, dapat menjadi jalan adanya proses hukum, karena Komnas HAM meminta kematian 4 dari 6 orang tersebut ditindak lanjuti dengan mekanisme pidana. “Sebaiknya Polri melakukan penegakan hukum terhadap oknum anggotanya atas peristiwa KM 50 tersebut, sebagaimana KSAD dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin.
Secara umum masih terdapat tantangan terkait penanganan kasus penyiksaan perlu dicarikan solusi. Menurut Edwin, salah satu kendalanya yakni tidak dikenalnya penyiksaan dalam KUHP, sehingga penyiksaan cenderung disamakan dengan penganiayaan. Untuk itu Edwin merekomendasikan agar dibuatnya regulasi yang memasukkan penyiksaan sebagai tindak pidana, termasuk mempertimbangkan penyidikan oleh pihak yang dinilai netral agar hak-hak korbannya lebih memungkinkan dipenuhi.
Terkait tindak kekerasan di 2020, Edwin menyoroti cukup tingginya permohonan dari korban kejahatan kekerasan, seperti penganiayaan, pencurian dengan kekerasan dan KDRT yang totalnya mencapai 208 pemohon. Hal paling banyak dimohonkan oleh korban kepada LPSK, yakni bantuan medis. Ini disebabkan tidak dijaminnya pelayanan medis para korban tindak pidana oleh BPJS. Tercatat 40 persen dari korban tindak kekerasan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK akibat tidak diberikannya jaminan Kesehatan oleh BPJS.
“Semestinya BPJS yang menanggung. Tapi dengan adanya Peraturan Presiden 82 Tahun 2018, tanggung jawab memberi jaminan kesehatan kepada korban kejahatan justru dilepas. Bila jaminan Kesehatan kepada korban tindak pidana tidak dijamin BPJS, mestinya pemerintah mengalokasikan anggaran kepada LPSK untuk memberikan bantuan medis kepada para korbannya dengan rasio jumlah korban tindak pidana di Indonesia. Karena LPSK bukan Lembaga penjamin kesehatan. Perpres 82/2018 ini membuat negara absen atas kewajiban kepada korban kejahatan,” kata Edwin
Sebagai informasi, tampil sebagai penanggap laporan kinerja LPSK 2020, Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan, Direktur Hukum Bappenas Prahesti Pandanwangi, Pakar Hukum Pidana Chairul Huda dan Direktur ICJR Erasmus Napitupulu. (Nur Cahyono)
Tinggalkan Balasan