Ilustrasi (Foto: Unplash)

JAKARTA, Eranasional.com – Tekanan Dolar Amerika Serikat (AS) terhadap Rupiah belakangan ini menguat. Per 6 Oktober 2023, nilai tukar mata uang tersebut Rp15.610 per dolar.

Menguatnya Dolar Amerika terhadap Rupiah diprediksikan berdampak pada kenaikan harga sejumlah komoditas, utamanya barang-barang impor. Direktur PT Laba Forexindo Berjanka, Ibrahim Assuaibi mencontohkan harga obat-obatan dan elektronik terancam naik akibat menguatnya Dolar AS.

“Ya, harga obatan-obatan dan elektronik ke depannya bisa mahal,” kata Ibrahim, Minggu (8/10/2023).

Begitu juga dengan harga bahan bakar minyak (BBM), yang mana Indonesia masih mengimpornya. Ini artinya, sektor transportasi juga akan terdampak.

“Kemarin harga BBM nonsubsidi dinaikan. Ini berdampak pada sektor transportasi,” tuturnya.

Hal senada dikatakan analisis pasar uang, Lukman Leong, yang menyebut produk harga barang impor akan terkerek naik. Maka, imbasnya akan terjadi inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

“Dampak utama pada produk impor yang berbasis Dolar, terutama BBM,” katanya.

Ilustrasi (Foto: Unplash)

Sementara itu, pengamat pasar uang Ariston Tjendra berpendapat, menguatnya Dolar Amerika akibat dari kebijakan suku bunga acuan AS tahun ini. Apalagi kebijakan moneter AS menjadi perhatian pelaku pasar global. Peguatan nilai Dolar AS diprediksi terjadi hingga akhir 2023 atau awal tahun 2024.

“Kebijakan suku bunga acuan AS menjadi pemicu utama penguatan Dolar AS tahun ini. Kebijakan moneter AS ini menjadi perhatian pelaku pasar global,” ujarnya, Sabtu (7/10/2023).

Kata dia, Dolar AS mempengaruhi transaksi global. Transaksi pembayaran valas global yang memakai Dolar AS masih tinggi sekitar 46% menurut data Swift, dibandingkan nilai tukar lainnya. Selain itu Dolar AS juga memegang sekitar 60% cadangan devisa global. Jadi ketergantungan dunia terhadap Dolar AS masih tinggi.

Ia menyebut kenaikan suku bunga acuan AS akan mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Obligasi pemerintah AS menjadi aset investasi aman yang menarik pelaku pasar.

“Pelaku pasar tentu lebih senang berinvestasi di aset yang aman dibanding aset yang berisiko bila menghasilkan imbal hasil yang kurang lebih sama, sehingga Dolar AS menguat. Ekspektasi kebijakan suku bunga tinggi ini masih didukung oleh kondisi bahwa Bank Sentral AS masih mengkhawatirkan tingkat inflasi AS yang masih belum turun ke level target 2%,” terangnya.

Selain itu isu perlambatan ekonomi global dengan tingginya inflasi akibat kebijakan suku bunga tinggi, krisis utang, serta perang Rusia-Ukraina juga memberikan sentimen negatif ke aset berisiko seperti Rupiah, dan mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman seperti Dolar AS.