JAKARTA, Eranasional.com – Mahkamah Konstitusi melalui melalui putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 kabulkan permohonan syarat capre cawapres berupa alternatif, selain usia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai putusan itu kental aspek-aspek non-yuridis (politis).
“Aspek politis sangat jelas lebih kental menyelimuti perkara ini, dibanding aspek dan rasionalitas yuridis,” kata Yuniar Riza Hakiki selaku Peneliti PSHK UII dalam siaran pers, Selasa, 17 Oktober 2023.
Dia menyebut bukti, dari substansi perkara berkaitan erat dengan pencalonan/pendaftaran calon Presiden dan calon Wakil Presiden Pemilu 2024.
Rangkaian persidangan dalam beberapa perkara yang substansinya serupa, tetapi dalam waktu yang tidak berjauhan menghasilkan pendirian (amar putusan) MK yang berbeda.
Nampak jelas “Gerbong Majelis Hakim MK” dalam memutus, sebagaimana diungkap jelas “Aib” persidangan perkara ini oleh Hakim yang mempunyai pendapat berbeda.
“Jelas ada konstelasi Hakim yang berubah dalam waktu sekejap, padahal tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat,” kata Yuniar.
Dikatakan kemudian, dengan amar putusan yang ditegaskan “… pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, nampak salah satu tujuannya untuk kepentingan kelompok tertentu yang bakal cawapresnya sedang menduduki jabatan kepala daerah.
Peneliti PSHK FH UII lainnya, Aprillia Wahyuningsih menambahkan bahwa putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak konsisten dengan putusan dalam kasus serupa sebelumnya.
Di satu sisi, dalam putusan-putusan sebelumnya MK bersikap persoalan ini menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), sekalipun ada Hakim yang berpendapat berbeda.
Tetapi, di sisi lain, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK justru mengambil sikap judicial activism dengan menafsirkan melalui ketentuan lain.
“Dengan inkonsistensi MK yang demikian, telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK,” terang Aprillia.
Disebutnya, tafsir MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat ekstensif dan ultra petita (melampaui yang dimohonkan).
Petitum pemohon bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Pemohon menggunakan “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan.
Artinya lanjut dia, permohonan nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official).
Sedangkan, amar putusannya justru jauh menjadi “ … atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
“Dengan begitu, putusan tersebut telah menyebabkan MK terjerembab pada posisi positif legislator yang dominan dan rentan akan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan kehakiman),” tandasnya.
Dilanjutkan, konstruksi hukum yang dibangun MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat dangkal dan amat mudah dirobohkan, bahkan semestinya tidak executable.
Terlihat dari tidak padunya antara amar putusan dengan pertimbangan yang dibangun oleh para Hakim.
Sebenarnya Hakim yang memutus sesuai dan persis dengan amar putusan hanya tiga Hakim.
Di lain pihak terdapat tiga Hakim yang tegas menolak melalui pendapat berbeda (dissenting opinion), dan satu hakim menyatakan seharusnya perkara ini tidak dapat diterima.
Sedangkan dua hakim yang juga dianggap mengabulkan sejatinya memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yang pendapatnya tidak sama persis dengan tiga hakim yang mengabulkan.
Sehingga, posisi lima hakim yang mengabulkan permohonan, dua diantaranya seolah sangat dipaksakan.
“Artinya, amar putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 pada dasarnya hanya dikabulkan oleh tiga Hakim saja,” jelasnya.
Menurut dia, Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus tanpa proses persidangan yang matang, holistik, objektif, dan berbobot.
Terbukti hanya diputus dengan Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; dan Memeriksa bukti-bukti Pemohon saja.
MK “dengan Pede-nya” menyatakan “permohonan a quo telah jelas maka dengan mendasarkan pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK dimaksud.”
“Dengan demikian, perkara ini jelas terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat diputus, tanpa mendengar keterangan berbagai pihak dan tanpa pertimbangan yang matang, holistik, objektif, dan berbobot,” tukas Aprillia.
PSHK FH UII menilai, pendirian yang dibangun MK ini memberikan preseden buruk dan noktah hitam dalam perjuangan konstitusional, bahwa sebagai lembaga anak kandung reformasi yang seharusnya melestarikan demokrasi dan menjunjung tinggi konstitusi justru tidak mengindahkan prinsip demokrasi dan batasan kewenangan sebagai ruh dari konstitusi.
Hal ini rentan sebagai titik balik bagi rakyat untuk mulai menafikan penghormatan yang layak terhadap MK ke depannya.
PSHK FH UII berpendapat, pemberian legitimasi perubahan syarat calon presiden/wakil presiden melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang jelas-jelas mengabaikan logika hukum yang telah dibangun oleh MK sendiri melalui putusan-putusan terdahulu, dengan demikian tidak berlebihan memunculkan pendapat akademis bahwa telah terjadi legalisme otokratis, bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perbuatan/kepentingan para otokrat.
PSHK FH UII kemudian merekomendasikan Penyelenggara Negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) semestinya tetap tunduk pada konstitusi dan tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan/menguntungkan segelintir orang.
“Hakim Konstitusi seyogyanya menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dengan memperlihatkan sikap yang teguh dan konsisten terhadap penyelenggaraan negara yang konstitusional melalui putusan-putusan yang dibangun atas pertimbangan matang, holistik, objektif, berbobot, logis, dan berkeadilan,” kata Aprillia.
Akademisi dan masyarakat sipil harus tetap memberikan pengawalan dan counter public untuk menciptakan kewarasan dan kejernihan dalam berpikir, serta agar penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan hukum dan keadilan.
Tinggalkan Balasan