Menurut dia, putusan MK pun secara nalar hukum, baik sekali. Mestinya nalar ini yang digunakan pembuat UU saat merumuskan Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

“Yang jadi soal adalah faktanya Ketua MK konflik kepentingan saat ikut memutus. Ada UU Kekuasaan Kehakiman yang dilanggar, ada etik yang diterabas,” tandas Ferry Koto.

Di sini soalnya, ujar dia. Jika Ketua MK yang jelas-jelas paman Gibran dan ipar Presiden Jokowi saat itu tak ikut memutus perkara,  maka final sudah putusan MK tersebut.

“Soal MK menambah frasa di UU, membuat norma baru, kan sudah berkali-kali. Toh, tetap terjadi. Kenapa sekarang harus kaget?” imbuhnya.

Diteruskannya, jika Ketua MK yang paman Gibran dan ipar Presiden Jokowi jujur ke dirinya, maka saat membaca permohonan yang jelas-jelas menyebut nama Gibran sebagai salah satu argumen melakukan JR, dia harus mundur dari ikut membahas dan memutuskan perkara tersebut.

“Sangat terang ada konflik kepentingan. Saya sependapat dengan Prof Denny Indrayana, fokusnya pada konflik kepentingan, prosesnya salah. Oleh karenanya, putusannya mestinya dianggap tidak sah sebagaimana diatur UU Kekuasaan Kehakiman,” terang dia.