Selama ini kata dia, kecenderungan-kecenderungan yang ada di masyarakat lebih pada pemihakan secara 100 persen Hamas atau Palestina atau Israel dan saling menyalahkan satu sama lain.
Meski konflik ini terus berkepanjangan, Mu’ti berpendapat masih ada peluang untuk mengusahakan jalur-jalur rekonsiliasi dan perdamaian.
Banyaknya gerakan diplomasi kultural oleh masyarakat sipil untuk membangun kesadaran persaudaraan antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen membuat dirinya optimis pada upaya resolusi konflik. Misalnya ide tentang Common Ground, Kalimatun Sawa’, Son of Ibrahim dan yang lainnya.
“Bagaimana komunitas non agama ini bisa berperan lewat jalur non militer dan non politik untuk membangun kerukunan di antara masyarakat yang berbeda-beda itu,” jelasnya.
Mengurangi kecenderungan simplifikasi atas konflik Palestina-Israel, Mu’ti mengajak umat untuk mengedepankan rasionalitas, objektivitas, keadaban dan bukan sentimen emosional semata.
Menurut dia, pemihakan yang paling mungkin adalah pemihakan kepada kebenaran yang memenuhi hukum-hukum internasional.
Bahwa tidak boleh ada penyerangan pada masyarakat sipil, pada fasilitas publik walaupun dalam situasi perang.
Karena itu tegasnya, perang ini harus dihentikan. Tekanan internasional kepada Israel untuk menghentikan semua okupansinya itu perlu terus didengungkan. (*)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan