JAKARTA, Eranasional.com – KPK menyebut eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej bisa disebut mafia hukum atau mafia peradilan, jika terbukti berusaha mempengaruhi perkara hukum yang menjerat Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Eddy Hiariej ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.

“Diduga EH (Eddy Hiariej) menerima uang suap dari HH (Helmut Hermawan) nilai totalnya Rp8 miliar,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 7 Desember 2023.

Alex mengungkapkan, sebagian uang yang diberikan Helmut kepada Eddy merupakan fee jasa konsultasi hukum terkait Administrasi Hukum Umum (AHU).

“Besaran fee yang disepakati yang diberikan Helmut Hermawan kepada Eddy Hiariej sekitar Rp4 miliar,” jelasnya.

Sisanya, Rp1 miliar untuk keperluan pribadi Eddy Hiariej dan Rp3 miliar lagi akan diberikan setelah Eddy membuktikan janjinya bisa menghentikan kasus hukum yang menjerat Helmut di Bareskrim Polri.

Diketahui, Helmut menyerahkan uang Rp4 miliar kepada Eddy untuk membuka blokir hasil Rapat Usaha Pemegang Saham (RUPS) PT CLM. Perusahaan tersebut bergerak di bidang nikel.

Adapun hasil RUPS itu terblokir di Sistem Administrasi Badan Usaha (SABH) pada Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM karena ada perselisihan di internal perusahaan tersebut.

“Menggunakan kewenangannya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy bisa membuka blokir tersebut,” jelas Alex.

Helmut Hermawan dan Eddy Hiariej mulai berkomunikasi ketika Helmut mencari konsultasi terkait AHU dan mendapatkan rekomendasi agar menghubungi Eddy Hiariej.

Keduanya bertemu pada April 2022. Setelah itu, saat Eddy memerintahkan asisten pribadinya, Yogi Arie Rukmana, dan pengacara, Yosi Andika Mulyadi untuk menangani persoalan tersebut setelah disepakati akan mendapatkan fee sebesar Rp4 miliar.

Dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi, KPK juga telah menetapkan Yogi dan Yosi sebagai tersangka.

Selain itu, transaksi antara Eddy Hiariej dan Helmut berkaitan dengan kasus dugaan memberikan keterangan palsu terkait pemegang izin usaha pertambangan yang menjerat Helmut di Bareskrim Polri.

Alex menyebutkan, Eddy menjanjikan kepada Helmut dapat membebaskan dari kasus tersebut atau akan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) asalkan memberikan sejumlah uang.

“Ada juga permasalahan hukum lain yang dialami HH (Helmut Hermawan) di Bareskrim Polri dan untuk itu EH bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3,” papar Alex.

Eddy disebut menerima uang sebesar Rp3 miliar untuk mengusahakan terbitnya SP3.

Alex Marwata menduga seolah-olah Eddy Hiariej memiliki koneksi dengan Bareskrim Polri sehingga dia dapat menjanjikan akan menghentikan kasus yang menjerat Helmut.

“Ya barang kali saja kenal baik dengan pihak Bareskrim atau penyidiknya, bisa saja. Kasus seperti ini kan banyak terjadi,” tuturnya.

“Meskipun tidak punya kewenangan untuk menerbitkan SP3, tapi kalau dia punya link atau relasi atau hubungan baik dengan pihak-pihak yang berkepentingan semuanya bisa. Ya seperti itu,” sambung Alex.

Menurut Alex, siapa pun bisa mengurus dan berusaha mempengaruhi proses hukum yang sedang bergulir di lembaga penegak hukum dengan menggunakan kekuatan uang maka dapat dikatakan mafia hukum atau mafia peradilan.

“Inilah yang istilahnya mafia hukum atau mafia peradilan, atau apa istilah lainnya. Seperti itu memang kejadiannya,” ujarnya.

Selain itu, KPK juga menduga Helmut Hermawan memberikan uang Rp1 miliar kepada Eddy Hiariej untuk kepentingan Eddy mencalonkan diri sebagai ketua Pengurus Pusat (PP) Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PTSI). (*)