“Teori apa pun yang Anda pakai, kalau tidak mampu memberantas korupsi atau sekurang-kurangnya menghentikan korupsi dari waktu ke waktu, pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah maksimal,” ujarnya.

Mahfud kemudian merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang secara berkala dilansir Transparency International Indonesia (TII), korupsi masih selalu menjadi tantangan serius di Indonesia.

Dipaparkannya, pada 2022, peringkat IPK Indonesia merosot 4 poin dibanding setahun sebelumnya dan menempati peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei oleh Transparency International (TI).

Kata Mahfud lagi, karena terganjal kasus-kasus korupsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, sehingga berdampak pada besarnya ketimpangan, terutama antara di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Padahal, kata dia, seluruh penjuru Indonesia punya hak yang sama atas pembangunan, kesejahteraan, dan kemajuan.

“Perbedaan lokasi geografis, suku, dan budaya, tidak boleh melahirkan perbedaan akses terhadap pembangunan dan kesejahteraan,” tegas Mahfud.

Menurut Mahfud, kondisi saat ini belum mencerminkan hadirnya kesetaraan dan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia. Misal, 80 persen pertumbuhan ekonomi masih disumbang dari wilayah barat Indonesia, dengan 57 persen berpusat di Pulau Jawa. Tanpa ada korupsi, Mahfud menyakini ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari 6 persen per tahun.

Beragam strategi untuk mewujudkan pemerataan ekonomi ke seluruh Indonesia bisa diwujudkan, ketika korupsi bisa dibasmi.