ERANASIONAL.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka keran investasi di industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol, wine yang mengandung anggur, dan minuman yang mengandung malt.

Sebelumnya, ketiga jenis investasi ini termasuk dalam sektor investasi tertutup. Perpres baru tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang kegiatan penanaman modal.

Namun terdapat dua syarat yang harus dipenuhi oleh investor yang ingin menanamkan modalnya pada ketiga sektor kegiatan tersebut.

Pertama, investasi baru dapat dilakukan di provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan lokal.

Kedua, investasi di luar voivodeship harus ditentukan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan rekomendasi voivode. Sebagai informasi Perpres 10/2021 memuat minuman beralkohol, memuat minuman anggur dan minuman yang mengandung malt sebagai perusahaan dengan syarat tertentu.

Hal ini tercantum dalam Lampiran 3 Perpres 10/2021 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan tersebut.

“Daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu yang merinci bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, dan persyaratan tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peraturan presiden ini,” bunyi Pasal 6 ayat 2 aturan itu, dikutip Senin (1/3).

Pasal 6 Perpres 10/2021 menyebutkan bahwa bidang usaha dalam kondisi tertentu merupakan bidang usaha yang dapat diusahakan oleh semua penanam modal, termasuk koperasi dan UMKM.

Namun, mereka harus memenuhi tiga syarat, antara lain persyaratan investasi bagi investor dalam negeri dan persyaratan investasi dengan pembatasan kepemilikan ekuitas asing.

Kemudian investor juga harus memenuhi persyaratan investasi  izin khusus. Menanggapi pelanggaran aturan investasi alkohol, ekonom Indef Bhima Yudhistira memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat di daerah sasaran investasi sebenarnya kecil.

Namun, dampak negatifnya akan semakin besar di masa mendatang karena penjualannya diharapkan dapat diarahkan ke seluruh Indonesia. Apalagi, cukai minuman beralkohol relatif kecil.

Kementerian Keuangan mencatat, kontribusi pajak dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 250 miliar atau minus 15,18 persen per tahun (y / y) mulai Januari 2021.

“Meskipun basis produksinya di beberapa daerah, tentu penjualannya sulit diatur hanya di daerah tersebut. Pastinya pertimbangan investor adalah pasar minuman beralkohol dalam negeri,” tuturnya dikutip dari CNNIndonesia.com.

Bhima juga menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan rencana pengembangan investasi halal pemerintah.

Ia memperkirakan dalam jangka panjang, kebijakan ini juga akan mengancam kesehatan masyarakat dan menimbulkan keresahan sosial, terutama jika masyarakat menolak berinvestasi pada minuman beralkohol.

Karena itu, dia meminta pemerintah mempertimbangkan untuk mengubah peraturan tersebut. Secara keseluruhan, dia menilai investasi itu lebih negatif daripada positif.

“Banyak sektor yang bisa dikembangkan selain industri minuman beralkohol. Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja, sektor pertanian dan pengembangan agro industri harusnya yang dipacu,” tandasnya. (red)