Pimpinannya, Jasriadi, divonis 10 bulan penjara karena terbukti melakukan akses ilegal media sosial.

Setelah Saracen, polisi juga membongkar jaringan kelompok The Family Muslim Cyber Army (MCA). Kelompok ini memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.

MCA Indonesia menginduk ke United MCA, jaringan internasional yang berhasil memecah belah Suriah dan Irak. Motif MCA berbeda dengan Saracen. Jika Saracen motifnya ekonomi, MCA motifnya adalah ideologi tertentu.

Mereka ingin mendegradasi negara dengan memecah belah masyarakat dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penganiayaan ulama, dan penghinaan kepala negara.

Dalam kancah berita bohong, berbagai kepentingan seperti politik, ekonomi, dan ideologi saling terkait satu sama lain.

Lapangan pertempuran baru global

Sedikit meluaskan pembahasan, media sosial merupakan lapangan pertempuran baru global di era digital. Jaringan sistematis dan terorganisir bukan hanya milik kelompok seperti Seracen atau MCA, tapi juga negara.

Manipulasi informasi dilakukan tidak hanya untuk menjatuhkan pihak yang dianggap lawan atau sebaliknya memoles citra seseorang, tetapi juga menyangkut bisnis jutaan dolar AS.

Mengutip laporan Oxford Internet Institute (OII) yang berjudul ‘Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation’, selama tahun 2020, keberadaan pasukan siber semakin meningkat.

Pada 2019 diidentifikasi ada 70 negara yang memiliki pasukan siber. Pada 2020, jumlahnya meningkat menjadi 81 negara termasuk Indonesia yang memiliki pasukan siber.

Pasukan siber menjadi alat pertahanan baru, tidak mengenal bentuk rezim suatu negara, apakah demokrasi atau otoriter. Mereka bertugas memanipulasi informasi di media sosial.

“Kami menemukan bukti, 81 negara menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi tentang politik,” tulis laporan OII.