Jakarta, ERANASIONAL.COM – Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk Keadilan Pemilu menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan pelanggaran sedikitnya 11 kali pada proses Pemilu 2024.

Sebagai informasi, Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu terdiri dari Setara Institute, Imparsial, KontraS, Centra Initiative, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Inklusif.

Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu melakukan pemantauan pada sejak ditetapkannya capres-cawapres pada 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024.

Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, ada tiga betuk pelanggaran dan penyimpangan pada Pemilu 2024, yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas.

Dia pun merinci, ada tujuh pelanggaran yakni dukungan ASN terhadap kandidat capres-cawapres sebanyak 38 kasus, kampanye terselubung 16 kasus, dan dukungan terhadap kandidat tertenti 14 kasus.

“Selain itu, politisasi bansos 8 kasus. Kemudian,dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu 9 kasus, penggunaan fasilitas negara 5 kasus, dan dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu 2 kasus,” kata Halili Hasan dalam pers rilisnya, Sabtu, 10 Februari 2024.

Khususnya pelanggaran yang dilakukan Presiden Jokowi, Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu mencatat terjadi 11 kali pelanggaran atau penyimpangan.

Ungkapnya, Jokowi berada di urutan keempat pelaku yang melanggar peraturan Pemilu.

“Pelaku penyimpangan netralitas pertama dilakukan oleh ASN Pemerintah Kabupaten sebanyak 13 kasus, menteri 13 kasus, lurah atau kepala desa 12 kasus, dan Presiden Jokowi sebanyak 11 kasus,” paparnya.

Sementara, Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu, mencatat 9 kasus pelanggaran yang dilakukan polisi, ASN Pemerintah Provinsi 8 kasus, prajurit TNI 7 kasus, Bupati 4 kasus, Wali Kota 4 kasus, dan Camat 4 kasus.

Berdasarkan jumlah pelanggaran yang dia beberkan itu, Hasan menyebutkan bahwa legistimasi Pemilu 2024 sudah rapuh sekali.

Dia pun mengajak seluruh rakyat Indonesia mengawal pelaksanaan Pemilu 2024 agar tidak menjadi titik balik bagi otoritarianisme untuk berkuasa kembali menggantikan demokrasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, unsur terstruktur, sistematis, dan masif sudah terpenuhi dalam berbagai pelanggaran yang terjadi selama beberapa bulan ini.

Aspek itu terpenuhi karena pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, misalnya Presiden yang melakukan politisasi bantuan sosial (bansos) dengan anggaran yang sangat besar.

Selain itu, ada pula para menteri, kepala daerah, hingga pejabat setingkat desa.

“Aspek terstrukturnya terpenuhi. Dia yang punya kewenangan untuk mengatur anggaran yang dialokasikan, didistribusikan. Di mana dan kapan, siapa saja targetnya. Jadi, secara sistematis ada kebijakan yang menopang, baik langsung maupun tidak langsung. Kecurangan-kecurangan itu menguntungkan salah satu pasangan calon,” kata Armand.

Sementara itu, aspek masif dalam pelanggaran tersebut juga dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di masyarakat yang sudah terdokumentasikan.

Adapun pemantauan data itu menggunakn metode pengumpulan, yakni pelaporan publik melalui platform penelusuran kasus (Case Tracking Platform/CTP) berbasis google form dan desk study.

Untuk menjamin validitas data pemantauan, Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu menggunakan teknik triangulasi dengan menguji keabsahan data melalui pemeriksaan silang tiga sumber data yakni pelaporan, hasil desk review, dan pendalaman data oleh jaringan pemantau daerah. (*)