Hitung cepat lembaga survei Charta Politika menunjukkan perolehan suara yang nyaris serupa.

Prabowo-Gibran mendapat 57,81%, Anies-Muhaimin 25,57%, dan Ganjar-Mahfud 16,61%.

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum tata negara di Universitas Mulawarman, menilai gugatan sengketa hasil penghitungan suara berpotensi besar mengubah jalannya kompetisi.

Dia mengatakan, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berpeluang mencegah kemenangan Prabowo-Gibran dalam satu putaran.

“Kalau salah satu paslon ini bisa membuktikan bahwa 7%-8% suara Prabowo-Gibran diraih dari kecurangan, gugatan itu bisa mempengaruhi jalannya Pilpres—bisa berlanjut ke putaran kedua,” kata Herdiansyah.

“Kecurangan 7-8% itu yang mesti dibuktikan oleh paslon nomor urut 1 dan 3,” ujarnya.

UU 7/2017 tentang Pemilu melalui pasal 416 ayat (1) mengatur tiga syarat yang harus dipenuhi paslon untuk memenangkan pilpres dalam satu putaran.

Paslon itu harus mendapat lebih dari 50% suara dan menang di lebih dari setengah provinsi atau minimal 20 provinsi.

Adapun syarat ketiga mengharuskan paslon meraih minimal 20% suara di setengah jumlah provinsi.

Terkait syarat itu, Herdiansyah berkata, paslon yang menggugat ke MK juga dapat menjegal pilpres satu putaran jika berhasil membuktikan satu dari 20 provinsi ternyata tidak dimenangkan Prabowo-Gibran.

Herdiansyah berkata, dua hal inilah yang setidaknya dapat diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ke MK.

Gugatan yang berfokus untuk mengubah perolehan suara kedua paslon, menurutnya, lebih sukar mengubah peta persaingan karena selisih yang besar antara keduanya dengan Prabowo-Gibran.

“Yang bisa digugat bukan soal selisih suara dari masing-masing paslon, tapi lebih ke isu bagaimana pilpres harus berlangsung ke putaran kedua,” kata Herdiansyah. (*)