Terlepas dari retorika perdamaian ini, pemerintahan Israel secara terbuka telah menyatakan pengabaian mereka terhadap Proses Perdamaian termasuk dengan menyatakan Perjanjian Oslo “batal demi hukum”.
Bulan November lalu, Perdana Menteri Benyamin Netanyahu bahkan menyombongkan hal tersebut dengan mengatakan: “Saya bangga telah mencegah berdirinya negara Palestina”.
Tidak mengherankan jika para pejabat Israel di semua tingkatan secara terbuka mengabaikan seruan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan masalah ini secara damai dan mematuhi kewajiban internasionalnya.
Seiring dengan sikap tersebut, Israel hanya mengejar ‘solusi’ sepihak tanpa melibatkan warga Palestina, apalagi memperhatikan kepentingan mereka.
“Indonesia menyampaikan bahwa hal ini menegaskan bahwa Israel tidak pernah tertarik pada proses perdamaian apa pun,” kata Menlu.
Kedua, permintaan Advisory Opinion atau Pendapat Penasihat ICJ tidak dimaksudkan untuk memutuskan solusi akhir konflik.
Solusi yang komprehensif, adil dan langgeng hanya dapat dicapai melalui perundingan langsung antara pihak-pihak yang berkonflik, bukan perundingan yang dipaksakan dari luar atau oleh satu pihak.
Sebaliknya, permintaan tersebut dimaksudkan untuk meminta pendapat Mahkamah mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum yang diajukan oleh Majelis Umum PBB sesuai dengan kewenangannya.
Konsekuensi hukum
Pengadilan hanya boleh memberikan pendapatnya mengenai konsekuensi hukum yang timbul dari pelanggaran yang dilakukan Israel dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi status hukum pendudukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dipahami sebagai permintaan nasihat untuk memfasilitasi Majelis Umum dalam merancang tindakan-tindakan yang diperlukan dalam fungsinya.
Ketiga, pendapat Mahkamah akan memberikan kontribusi positif terhadap proses perdamaian dengan menghadirkan unsur-unsur hukum tambahan untuk penyelesaian perselisihan secara komprehensif.
“Proses perdamaian yang sejati dan abadi hanya dapat dicapai jika sejalan dengan hukum internasional. Oleh karena itu, pendapat Mahkamah sangat diperlukan,” Menlu mengingatkan.
“Dengan memperjelas aturan hukum terkait, Pendapat Mahkamah akan membantu menyelesaikan kebuntuan yang menghambat proses perdamaian,” tambah Menlu.
Selain dampak positif tersebut, pendapat Mahkamah akan berguna untuk memandu langkah-langkah masa depan yang harus diambil oleh PBB dan semua negara.
Oleh karena itu, Indonesia menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak permintaan ini karena akan berisiko mendelegitimasi prospek proses perdamaian di masa depan.
“Saya ingin menyimpulkan dengan menggarisbawahi bahwa tidak ada negara yang kebal hukum. Bahwa tidak ada negara yang kebal hukum. Dan kesucian Mahkamah ini harus dijunjung tinggi,” tegas Menlu Retno.
Indonesia meyakini bahwa mosi hukum ini juga merupakan mosi hati nurani global. Hal ini tidak boleh menjadi hal lain dalam daftar, hal lain yang diabaikan, seruan lain untuk tidak diindahkan, diabaikan secara terang-terangan oleh Israel.
“Tidak pernah lagi berarti tidak pernah lagi sama sekali,” ucap Menlu menirukan idiom dari kelompok Yahudi mengenai Holocaust.
Tinggalkan Balasan