Selain itu, ada negosiasi ulang yang dilakukan oleh Harmensyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) BNPB supaya harga APD diturunkan sebesar 10 dolar Amerika Serikat atau dari 60 dolar menjadi 50 dolar.
Menurut KPK proses ini tidak mengacu pada harga APD merek sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yakni sebesar Rp 370 ribu.
Kemudian terjadi backdate untuk menunjuk Budi sebagai PPK untuk pengadaan APD di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Sementara surat dikeluarkan sehari sebelumnya.
Selain itu, terdapat penerbitan Surat Pesanan APD dari Kemenkes kepada PT PPM sejumlah 5 juta set dengan harga satuan 48,4 dolar Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Budi, Ahmad Taufik dan Satrio.

Di mana dalam surat itu tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci.
Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani.
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum. Diantaranya, kerja sama antara PT PPM, PT EKI, PT YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kemudian, PT EKI dan PT YS terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Selain itu PT EKI yang ditetapkan sebagai penyedia APD tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD.
“Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319 miliar,” kata Ghufron.
KPK menduga perbuatan para tersangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). []
Tinggalkan Balasan