Jakarta, ERANASIONAL.COM – Gelombang protes terhadap institusi kepolisian terus meluas. Aksi massa yang berlangsung sejak beberapa hari terakhir kini menjalar hingga penyerangan ke sejumlah kantor polisi di Jakarta dan daerah. Kantor Polda Metro Jaya, Markas Brimob Kwitang, hingga Polres Jakarta Pusat bahkan dilaporkan diserang dan dibakar massa pada Sabtu (30/8) pagi.
Situasi ini menegaskan bahwa Polri tengah menghadapi krisis kepercayaan serius dari masyarakat.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, kondisi tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai pemegang otoritas dan penanggung jawab keamanan nasional berdasarkan UUD 1945 dan UU Kepolisian, Kapolri harus menunjukkan sikap negarawan di tengah situasi genting ini.
“Ketika kantor polisi sendiri tidak lagi aman, yang terguncang bukan sekadar tembok institusi. Kapolri perlu menunjukkan jiwa satria, berani bertanggung jawab penuh, bahkan bila itu harus menyerahkan mandat dan mundur dari jabatannya,” kata Azmi, yang juga Sekjen Mahupiki (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia), Sabtu (30/8).
Azmi menegaskan, keberanian seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kemampuannya bertahan, tetapi juga dari kesediaannya mundur jika itu menjadi jalan terbaik untuk memulihkan kepercayaan publik.
Lebih jauh, ia menilai kemarahan publik saat ini bukan sekadar dipicu oleh satu insiden, melainkan akumulasi dari rasa ketidakadilan, ketimpangan, dan kekecewaan terhadap aparat penegak hukum maupun oknum penyelenggara negara.
“Yang dibutuhkan bukan sekadar pengamanan represif, melainkan kepemimpinan yang berani mengambil tanggung jawab moral di hadapan rakyat,” ujarnya.
Azmi juga mengingatkan, jika kantor polisi dan markas Brimob saja tidak mampu dijaga, maka yang runtuh bukan hanya bangunan institusi, melainkan fondasi keamanan negara. Kondisi tersebut bisa berdampak serius terhadap legitimasi pemerintah.
“Kalau fondasi keamanan itu goyah, yang hilang bukan hanya kepercayaan rakyat kepada polisi, tapi juga kepada pemerintah. Inilah titik paling berbahaya, ketika rakyat tidak lagi percaya. Negara bukan hanya menghadapi kerusuhan di jalanan, tapi ancaman delegitimasi yang dapat mengguncang keberlangsungan kekuasaan itu sendiri,” tegas Azmi.
Oleh karena itu, menurutnya, saat ini pilihan ada di tangan Presiden dan Kapolri: apakah melakukan reset kepemimpinan di tubuh Polri atau menghadirkan strategi baru yang lebih manusiawi, transparan, dan akuntabel serta mampu memulihkan kembali komunikasi dengan masyarakat.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan