Jakarta – Berbagai upaya diusahakan pemerintah dalam menyelesaikan konflik pertanahan yang tak jarang terjadi di areal perkebunan, salah satunya dengan melakukan penelitian. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan (PPSKATP), mengadakan Seminar Penelitian dengan pokok bahasan “Penyelesaian Konflik Pertanahan di Areal Perkebunan” yang diselenggarakan di Century Park Hotel, Jakarta, Jumat (12/11/2021).
Membuka acara tersebut, Kepala PPSKATP, Supardy Marbun, mengatakan bahwa kebijakan pertanahan yang diterapkan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengundang para pelaku usaha masih terjadi hambatan.
“Kebijakan pertanahan, salah satunya pemberian Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan, masih ditemukan hambatan, seperti konflik antara masyarakat dengan perusahaan HGU perkebunan,” ujarnya.
Supardy Marbun menjelaskan bahwa dengan diadakannya seminar hasil penelitian ini merupakan langkah strategis dalam penyelesaian kasus sengketa pertanahan, khususnya di areal perkebunan.
“Kami rasa ini langkah strategis mengingat kasus pertanahan ini sudah lama terjadi. Bukan hanya terjadi di PTPN, tapi juga di perusahaan swasta, baik perkebunan bekas konsesi bahkan dari HGU bekas tanah negara,” jelasnya.
Sebagai informasi, Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Jambi dengan menggunakan konsep “Kerangka Penjelas Konflik Agraria Struktural” yang dikembangkan oleh Rachman (2013). Konsep tersebut dipergunakan untuk menjelaskan akar masalah, sebab-sebab dan akibat lanjutan yang melestarikan konflik perkebunan. Kerangka tersebut memperlihatkan bagaimana konflik perkebunan bersifat kronis, sistematis, dan meluas.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Penataan Agraria, Andi Tenrisau yang hadir sebagai narasumber mengatakan, terkait lokasi penelitian dianggap sudah sesuai, tetapi perlu dikembangkan dalam hal metode analisis.
“Analisis data dengan konsep konflik agraria struktural hanya dapat dipakai untuk menjawab permasalahan, yaitu faktor yang menjadi akar masalah konflik, sebab akibat, dan kondisi yang melestarikan konflik. Permasalahan tipologi konflik dan upaya penyelesaian, dapat menggunakan analisis yuridis,” ungkap Andi Tenrisau.
Lebih lanjut, Andi Tenrisau juga memberi saran terkait hasil penelitian di empat provinsi yang memperoleh dua tipologi subjek konflik, yakni tipologi konflik komunitas masyarakat dan konflik badan usaha.
“Untuk melengkapi hasil penelitian, sebaiknya ditambahkan tipologi konflik yang terkait dengan konflik yang berada di kawasan hutan dan kawasan areal penggunaan lain yang subjeknya Kementerian atau Lembaga,” tuturnya.
Andi Tenrisau juga menjelaskan, Kementerian ATR/BPN telah mengembangkan suatu konsep dalam hal penyelesaian konflik perkebunan.
“Kami di Direktorat Jenderal Penataan Agraria sudah mengembangkan konsep distribusi manfaat, khususnya untuk aset BUMN, pemerintah pusat, atau daerah. Tanah tersebut tetap kepemilikannya, tetapi pemanfaatannya dapat dilakukan oleh pihak lain, seperti masyarakat dengan diberikan hak atas tanah yang bersifat sementara atau dengan perjanjian sewa,” tambahnya.
Turut hadir sebagai narasumber, Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum UGM, Maria S.W. Sumardjono; Direktur Umum PTPN III, Doni P. Gandamihardja; Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB, M. Shohibuddin.
Tinggalkan Balasan