“Jelas ada konstelasi Hakim yang berubah dalam waktu sekejap, padahal tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat,” kata Yuniar.
Dikatakan kemudian, dengan amar putusan yang ditegaskan “… pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, nampak salah satu tujuannya untuk kepentingan kelompok tertentu yang bakal cawapresnya sedang menduduki jabatan kepala daerah.
Peneliti PSHK FH UII lainnya, Aprillia Wahyuningsih menambahkan bahwa putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak konsisten dengan putusan dalam kasus serupa sebelumnya.
Di satu sisi, dalam putusan-putusan sebelumnya MK bersikap persoalan ini menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), sekalipun ada Hakim yang berpendapat berbeda.
Tetapi, di sisi lain, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK justru mengambil sikap judicial activism dengan menafsirkan melalui ketentuan lain.
“Dengan inkonsistensi MK yang demikian, telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK,” terang Aprillia.
Disebutnya, tafsir MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat ekstensif dan ultra petita (melampaui yang dimohonkan).
Tinggalkan Balasan