JAKARTA, Eranasional.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan.

Dia mengklaim, pemerintah telah berupaya melakukan pencegahan dengan cara pemasangan klambu, fogging, dan sosialisasi 3M, namun kasus DBD di Indonesia masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Untuk diketahui, WHO menargetkan setiap negara bisa menekan kasus DBD minimal 10 per 100.000 penduduk. Namun, prevalensi DBD di Indonesia dilaporkan berkali-kali lipat dari jumlah tersebut yakni 28,5 bahkan sempat di 80. Di Yogyakarta, tercatat sempat mencapai 300 per 100.00. penduduk.

“Jadi selama 50 tahun terakhir pemerintah sudah melakukan segala macam menghabiskan ratusan miliar sampai triliun tapi kasus DBD enggak turun-turun DBD,” kata Budi Gunadi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 28 November 2023.

“Kita sudah melakukan intervensi di lingkungan vektor dan manusia, tapi kenyataannya enggak turun-turun,” sambungnya.

Tapi sekarang, lanjut Budi Gunadi, kasus DBD di Yogyakarta mengalami penurunan. “Tiba-tiba ada satu kota, kok bisa turun? Itu yang menyebabkan kita masuk ke sana (Yogyakarta). Kita belajar, ini benar atau cuma untung-untungan,” ujarnya.

Bakteri Wolbachia

Menkes Budi Gunadi Sadikin lalu menjelaskan soal Wolbachia yang merupakan bakteri alami, bukan rekayasa genetik seperti yang banyak diviralkan.

Katanya, bakteri Wolbachia nyaris ada di seluruh serangga, termasuk nyamuk. Artinya, keberadaaan Wolbachia selama ini bukanlah sesuatu yang dibuat-buat.

Terlebih, Wolbachia tidak bisa bertahan hidup di luar tubuh serangga, dan tidak bisa menginfeksi manusia. Strateginya adalah dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam vektor pembawa dengue, yakni nyamuk aedes aegypti.

Saat bakteri dimasukkan, virus otomatis ‘kalah’ saing dengan virus. Karenanya, memungkinkan nyamuk untuk tidak lagi bisa menularkan virus dengue ke manusia.

Budi pun mengatakan pemerintah berencana memperbanyak jumlah populasi nyamuk ber-Wolbachia demi menangani kasus DBD.

“Ini enggak banyak yang disebar. Disebar hanya 10 persen dari populasi nyamuk aedes aegypti, berapa jenis nyamuk sih di Indonesia? Ada ratusan, ada Aedes aegypti, ada Anopheles pembawa malaria, ada Culex, yang bisa membawa Japanes encephalitis,” tutur dia.

“Yang disebar hanya 10 persen dari populasi nyamuk Aedes aegypti. Kalau dari nyamuk populasi total, lebih kecil lagi mungkin di bawah 5 persen.” sambungnya.

Dalam program nyamuk ber-Wolbachia, pemerintah melepaskan nyamuk sebanyak 12 kali setiap akhir pekan. Setiap kali pelepasan, jumlahnya tidak melampaui 1 persen dari populasi nyamuk.

Menkes Budi juga menyoroti kekhawatiran efek jangka panjang yang kerap menjadi sorotan pihak kontra. Dirinya mengklaim riset pengendalian DBD dengan nyamuk ber-Wolbachia sudah melalui beragam tahapan ilmiah, bahkan sejak 2016.

Ada 24 pakar independen yang dilibatkan untuk menganalisis efek jangka panjang pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, termasuk pakar di luar riset Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yakni Universitas Indonesia (UI) , Institut Pertanian Bogor (IPB) , hingga Universitas Airlangga.

“Yang penting buat saya, penelitian ini sudah lama dilakukan. Semua tahapan-tahapannya nggak ada yang bypass, semua tahapan-tahapan ilmiah sudah diuji,” kata Budi Gunadi sembari menekankan kasus DBD di Yogyakarta menurun 77 persen secara keseluruhan pasca program ini diterapkan. (*)